Namanya identik dengan pesawat penumpang komuter CN235 dan MNA (Merpati Nusantara Airlines), meninggal dunia di usia muda saat melaksanakan layanan terbang rutin dan baru saja diangkat menjadi full captain.

Inspirasi Captain Fierda Panggabean untuk menjadi pilot menurut wawancara dengan media adalah saat melihat untuk pertama kali captain pilot perempuan pertama di Indonesia yang bekerja di Bouraq, Captain Indah Juliani yang dikenal dengan nama julukan “Cipluk”. Sebelumnya justru tidak ada keinginan untuk jadi pilot, bahkan saat terbang sebagai penumpang, malah mabuk dan muntah-muntah.

Satu-satunya sekolah pilot yang menerima calon pilot perempuan waktu itu hanya JFS (Juanda Flying School) yang berkedudukan di Surabaya. Jadilah Fierda selama 18 bulan dan merupakan Angkatan II, digembleng menjadi siswa pilot selepas lulus SMA (Sekolah Menengah Atas). Setelah lulus, dari surat lamaran yang dikirim, hanya MNA yang mau merekrut. Maka Fierda mulai bekerja sebagai kopilot, tidak langsung menerbangkan CN235, melainkan pesawat komuter yang lebih kecil, De Havilland Canada DHC-6 Twin Otter.

In-Memoriam-Fierda-Panggabean-1

Dari surat lamaran kerja yang ditujukan ke Bouraq, Mandala Airlines, dan MNA, hanya MNA yang menerimanya. Jadilah Fierda Panggabean bekerja sebagai kopilot MNA sebagai awal karirnya.

In-Memoriam-Fierda-Panggabean-2Tidak puas ditugaskan di rute-rute Pulau Jawa dan Sumatra Selatan, Fierda sebagai pilot Twin Otter meminta untuk ditugaskan di pedalaman Papua yang tergolong sangat menantang.

Mungkin karena masih ragu atas kemampuannya, Fierda justru terbang melayani rute-rute pendek dan tergolong aman di seputaran Jakarta, Cirebon, atau Cilacap. Tentunya hal ini tidak memuaskan bagi anak sulung dari enam bersaudara ini, Fierda lantas meminta atasannya agar memindahkannya ke daerah, apalagi sebagai pilot junior, sesuai tradisi di MNA memang ditempatkan di daerah dan kota kecil untuk menimba pengalaman. Gayung pun bersambut, sebagai bukti kepercayaan manajemen, dia dikirim bertugas di Papua yang tergolong wilayah menantang.

Selama tiga tahun bertugas, medan Papua benar-benar bukan untuk pilot sembarangan. Berbagai macam airstrip di Papua dilayani dan hapal termasuk kondisi cuaca di sana yang sulit ditebak. Tidak jarang pesawat terperosok lumpur dan Fierda walaupun sebagai pilot harus mau mendorong ramai-ramai ke landasan pacu bersama penduduk setempat. Dengan tinggi mencapai 165 cm dan rambut dipotong pendek, sering disangka pria, dan waktu itu Fierda menjadi salah satu dari sedikit pilot perempuan yang bertugas di pedalaman.

Setelah menjalani tugas di Papua termasuk di Kalimantan dan sebagian Nusa Tenggara, manajemen MNA memutuskan sudah cukup dan Fierda kembali ditarik ke rute-rute sebelumnya di Pulau Jawa plus wilayah Lampung dan Sumatra Selatan. Garis tangan membuatnya menjadi salah satu pilot CN235 pada tahun 1988, yang mulai dibeli MNA dua tahun yang lalu. Sempat canggung karena sudah menerapkan teknologi EFIS (Electronic Flight Service) yang biasanya dipasang di pesawat komersial jet dan juga sempat kebingungan karena terbiasa mendarat di bandara kecil, justru beroperasi di bandara kelas internasional seperti Bandara Soekarno-Hatta. Tapi akhirnya semua bisa karena biasa.

In-Memoriam-Fierda-Panggabean-3Dengan tinggi 165 cm dan rambut dipotong pendek, Fierda sering disangka pilot laki-laki. Memang masih perempuan yang menggeluti profesi sebagai pilot, apalagi pilot perintis di pedalaman Papua, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.

In-Memoriam-Fierda-Panggabean-4Selain bacaan ringan seperti komik Donald Bebek, Fierda menghilangkan stress dalam pekerjaan sebagai pilot dengan bermusik dan piawai dalam memainkan piano.

In-Memoriam-Fierda-Panggabean-5Duduk di kokpit CN235, Fierda berharap selain telah memperoleh rating pesawat komuter turboprop Twin Otter dan CN235, rencana berikutnya mendapatkan rating pesawat jet Fokker F28, namun semuanya sirna.

Lebih lanjut lagi Fierda juga ditugaskan menjadi duta MNA dan IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) sebagai produsen CN235. Saat Asian Aerospace 1990 di Singapura, beberapa kali Fierda melaksanakan terbang joyflight, mengenalkan lebih jauh pesawat ini khususnya versi komersial dimana MNA menjadi opeator terbesar di dunia, mengoperasikan sebanyak 15 unit. Sekaligus juga mengenalkan bahwa di Indonesia ada pilot perempuan dan setara kemampuannya dengan pilot laki-laki. Fierda secara tidak langsung identik dengan CN235 selain tentunya test pilot perempuan satu-satunya dari IPTN, Captain Esther Gayatri yang terlibat langsung dalam uji coba dan pengembangannya.

Saat kejadian nahas tanggal 18 Desember itu, Fierda baru beberapa bulan menjadi full captain tepatnya pada tanggal 24 Juni 1992, sekaligus baru saja menikah. Dia dimakamkan sesuai adat Batak pada tanggal 22 Desember di Tanah Kusir, bersebelahan dengan makam ibunya yang meninggal di bulan yang sama setahun yang lalu. Dalam rencananya, Fierda yang total membukukan lebih dari 6.300 jam terbang di Twin Otter dan CN235 berniat mengambil rating pesawat jet, Fokker F28. Tapi rencana tinggal rencana. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)