Pasca Perang Dunia II, penerbangan komersial kembali mengeliat. Armadanya didominasi oleh pesawat lebih besar dan bermesin empat yang sanggup terbang lebih jauh, lebih cepat, dan lebih tinggi.
Pesawat raksasa itu didominasi oleh Douglas DC-4, DC-6, dan DC-7. Sementara Boeing memperkenalkan 377 Stratocruiser, derivatif dari pembom strategis B-29 Super Fortress, sedangkan Lockheed mengembangkan Constellation dan pengembangannya Super Constellation.
Hindia Belanda yang memiliki Bandara Internasional Kemayoran, dibangun ulang oleh Belanda segera setelah Inggris hengkang pada tahun 1947. Selain memperbaiki fasilitas yang ada, landasan pacu utama juga diperpanjang sehingga dapat mengakomodasi Constellation/Super Constellation milik KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) yang melayani rute Amsterdam-Batavia (Baca: https://aviahistoria.com/2020/02/20/super-constellation-klm/). Selain KLM, maskapai asal Inggris, BOAC (British Overseas Airways Corporation) dan Qantas asal Australia menggunakan pesawat yang identik dengan kaki rodanya yang jangkung, tiga sirip ekor vertikal, dan sanggup mengangkut sampai 95 penumpang.
Punya panggilan kesayangan “Connie”, menjadi andalan KLM untuk layanan rute Amsterdam-Batavia. Tampak di foto dua “Connie” diparkir di apron Bandara Internasional Kemayoran pada tahun 1950.
Suasana Bandara Internasional Kemayoran di malam hari pada tahun 1950-an. Pada latar belakang tampak “Connie”, sosoknya yang jangkung, berekor tiga, dan bermesin empat menjadi ciri yang mudah dikenali.
Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia, operator Constellation/Super Constellation di Kemayoran semakin bervariasi, mulai dari Air France, PANAM (Pan American), PIA (Pakistan International Airlines), dan Air India menjadi beberapa contohnya. GIA (Garuda Indonesian Airlines) sebagai satu-satunya maskapai milik Indonesia tidak mengoperasikan Constellation/Super Constellation atau tipe pesawat raksasa sejenis lainnya karena masih sibuk dengan layanan domestik dan regional, belum terpikirkan untuk layanan jarak jauh antar benua.
Era pesawat penumpang raksasa bermesin empat dari tipe piston mulai tersingkir saat masuknya era mesin turbin jet dan turboprop. Perlahan namun pasti, Constellation/Super Constellation menghilang dari bandara-bandara internasional termasuk pula Kemayoran. GIA yang mengembangkan rute penerbangan jarak jauh ke Asia Pasifik dan Eropa memutuskan mengikuti tren ini, membeli pesawat turboprop bermesin empat, yaitu Lockheed Electra pada tahun 1961 (Baca: Electra, Pembuka Teknologi Turboprop di Indonesia) diikut pesawat jet bermesin empat, Convair 990A dua tahun kemudian.
Constellation/Super Constellation justru muncul kembali di Indonesia pada tahun 1969. Operatornya adalah AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Di tengah keterbatasan anggaran dan kebutuhan mendapatkan pesawat angkut jarak jauh khususnya untuk layanan VIP (Very Important Person), tawaran pemerintah Pakistan untuk menukar tiga unit Constellation bekas pakai PIA dengan lima unit pesawat tempur Mikoyan Gurevich MiG-19 “Farmer” disetujui.
Hasil tukar guling dengan MiG-19, AURI mendapatkan Constellation. Tampak pada foto, rombongan siswa Seskoau (Sekolah Staf dan Komando) berangkat untuk kunjungan ke pangkalan-pangkalan AURI.
Pesawat angkut yang telah uzur, tidak laik terbang, dan banyak masalah, “Connie” eks PIA ini beroperasi hanya satu tahun di AURI sebelum nantinya di-scrap.
Indonesia yang semakin berkiblat ke Barat pasca G30S (Gerakan 30 September), ingin menghapus alut sista (alat utama sistem senjata) buatan Timur, apalagi MiG-19 dinilai sebagai pesawat tempur yang sulit diterbangkan, kurang populer bagi pilot, dan jarang diterbangkan. PIA sendiri juga ingin memodernisasi armadanya dengan pesawat jet, menyingkirkan Constellation yang sebenarnya juga sudah dipensiunkan. Alhasil kedua pihak sama-sama menukar pesawat yang sebenarnya sudah uzur, bermasalah, dan tidak laik terbang!
Oleh AURI, ketiga unit Constellation dimasukan ke Skadron 17 yang berkedudukan di Halim Perdanakusuma, Jakarta, dan diberi registrasi T-1041, T-1042, dan T-1043. Tidak banyak cerita yang dapat diulas karena operasionalnya sangat singkat dari tahun 1969 sampai tahun 1970. Dari ketiga pesawat hanya T-1041 yang dioperasikan. Sayangnya tidak ada satupun dari pesawat raksasa ini tersisa untuk diabadikan di museum, seluruhnya dihancurkan sebagai besi tua. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)
Kalau MiG-19 yang diterima PIA ada kisahnya? Masa pakainya singkat juga kah?
SukaSuka
Iya, singkat. Tidak populer oleh pilot kita, karena belum menerapkan all moving stabilizer dan area rule yang membuatnya sulit dikendalikan saat penerbangan transonik. Lima unit yang tersisa itu (dari 10 unit), ditukar dengan tiga Connie seperti pada artikel.
SukaSuka