Douglas DC-9 adalah “Queen of Narrow Body” di Indonesia sebelum dikuasai oleh Boeing 737. Cukup lama pengabdiannya walaupun hanya dua operator yang pernah memilikinya, Garuda Indonesia dan Merpati Nusantara Airlines (MNA).

Tanggal 27 Oktober 1969, pesawat jet badan sempit bermesin dua pesanan GIA (Garuda Indonesian Airways) DC-9-32 tiba dengan selamat di Bandara Internasional Kemayoran setelah terbang feri sejauh hampir 25.000 km selama lima hari dari Long Beach, California. Pilot Garuda, Capt. A. Sutjipto dan Capt. Hudojo Saidhidajat didampingi dua orang tes pilot dan dua teknisi dari Douglas Corp. beserta seorang  perwakilan pabrik mesin Pratt & Whitney terbang dengan tiga kali persinggahan di Amerika Utara menuju ke timur menyeberang Samudra Atlantik dari Gander, Newfoundland ke Shannon, Irlandia. Pemberhentian berikutnya meliputi kota-kota Amsterdam, Roma, Istanbul, Teheran, New Dehli, Kalkutta, dan Bangkok.

Pesawat beregistrasi PK-GJE ini merupakan DC-9 pertama yang dimiliki GIA diikuti kedatangan pesawat kedua sebulan kemudian yaitu PK-GJF. Sesuai tradisi, pesawat milik GIA diberi nama di bagian hidung pesawat (nosename). Jika pesawat long body Douglas DC-8 diberikan nama pahlawan maka DC-9 diberikan nama sungai.

DC-9 pertama menyandang nama “Barito” sementara yang kedua tiba sekitar sebulan berikutnya diberi nama “Kapuas”. Pengadaan DC-9 ini merupakan keputusan Direktur Utama GIA yang baru diangkat, Wiweko Soepono untuk mengalihkan pembelian DC-8 kedua yang telah dibayar Garuda pada tahun 1965. Keputusan ini diambil karena Wiweko menginginkan GIA fokus ke rute-rute domestik dan regional yang lebih potensial dan menguntungkan daripada rute internasional.

Douglas-DC-9-Angkasa
Cuplikan berita/artikel dari majalah Angkasa No. 9-10 tahun 1969, menceritakan tentang kedatangan Douglas DC-9 GIA.

Dengan kemampuan angkut 102 penumpang atau dalam konfigurasi GIA, dibagi atas dua kelas yaitu kelas ekonomi dan bisnis, DC-9 dihadirkan sebagai pengganti Lockheed L188 Electra. GIA waktu itu menjadi maskapai pertama di Asia Tenggara yang menggunakan DC-9 dan beroperasi mulai tanggal 1 November 1969, melayani rute Jakarta-Surabaya diikuti rute ke Makassar, rute ke Medan dan Singapura, serta rute ke Denpasar, Cebu, dan Manila pada tanggal 22 November.

GIA kembali menambah DC-9 ketiga. Pesawat itu hadir dua tahun kemudian diberi registrasi PK-GJG dan bernama “Serayu”. Sedangkan PK-GJH hadir setahun berikutnya, diberi nama “Brantas”, sungai yang mengalir di Blitar sebagai kehormatan tempat kelahiran sang direktur. Berbeda dengan sebelumnya, pembelian DC-9 kali ini sampai seterusnya tidak dibeli secara tunai melainkan diperoleh dari pinjaman uang dan kepercayaan dari Chase Manhattan Bank.

Dalam perkembangan berikutnya, sembilan unit DC-9 (PK-GJE s/d GJM) diganti registrasi pada dua huruf terakhir akibat beraneka ragamnya pesawat jet yang telah dimiliki GIA. Jika huruf “E” sebagai penanda DC-8 maka untuk DC-9 diberi huruf “N” sedangkan huruf terakhir diurutkan kembali berdasarkan kapan pesawat diterima. Oleh karena itulah “Barito” sebagai pesawat pertama berganti registrasi menjadi PK-GNA sementara “Kapuas” menjadi PK-GNB, “Serayu” menjadi PK-GNC, dan seterusnya.

Bersamaan dengan itu, GIA membeli Fokker F28. Sepintas sosoknya sama, apalagi nosename yang diberikan juga nama sungai, tapi kedua pesawat tersebut memiliki performa yang berbeda. Fokker F28  hanya berkapasitas 65 penumpang kelas ekonomi, tapi dapat beroperasi di lapangan terbang sederhana sehingga dapat menjangkau hampir seluruh bagian provinsi di Indonesia, sedangkan DC-9 terbatas pengoperasiannya di bandara-bandara besar dan sedang. GIA menggunakan dua pesawat ini dan sekaligus mewujudkan sejak lama pelayanan rute-rute domestik dan regional miliknya dengan seluruhnya menggunakan pesawat jet (all jet fleet).