Douglas DC-10-30 merupakan pesawat badan lebar pertama yang beroperasi di Indonesia. Rentang penggunaannya lumayan lama dan menjadi salah satu pesawat jet badan lebar yang legendaris di Indonesia.

Pada periode II kepemimpinan Wiweko Soepono, GIA (Garuda Indonesian Airways) kembali melakukan modernisasi dengan mendatangkan pesawat baru, kali ini dari pesawat badan lebar (wide body) yang dapat mengangkut penumpang lebih banyak dan untuk rute jarak jauh Eropa dan Asia, seiring dengan tren kenaikan jumlah penumpang.

Pesawat yang dibeli adalah Douglas DC-10 dan pada bulan Maret 1976, GIA resmi memiliki pesawat bermesin jet tiga buah (trijet) tipe General Electric ini. Sebenarnya tiga tahun sebelumnya, GIA mengoperasikan pesawat tipe yang sama tapi dengan cara menyewa dari KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) dan dalam bentuk joint operation.

DC-10-30 PH-DTC tiba di Bandara Internasional Kemayoran pada tahun 1973. Masih berstatus sewa sehingga registrasinya masih Belanda (PH-). Tiga tahun kemudian baru GIA memiliki DC-10 sendiri.

DC-10 dari series 30 dengan registrasi spesial PK-GIA ini dibeli untuk menggantikan secara bertahap armada long body DC-8-55. DC-10 selain memiliki teknologi canggih INS (Inertia Navigation Systems) dan FMS (Flight Management System) juga memiliki kemampuan terbang lebih jauh dan kemampuan angkut lebih besar. Layanan rute Eropa khususnya Jakarta-Amsterdam dapat diterbangi DC-10 dalam lima kali sepekan dengan lama terbang lebih singkat karena jalur penerbangannya lebih pendek yaitu Jakarta-Bombay-Jeddah-Amsterdam dan nantinya dipangkas lagi menjadi Jakarta-Abu Dhabi/Jeddah-Amsterdam.

Sesuai tradisi di era Wiweko Soepono, pesawat ini diberi nama di hidungnya (nosename). PK-GIA diberi nama “Irian Jaya”, diambil dari nama pulau besar di Indonesia. Pemesanan terus dilakukan sehingga total ada empat unit yang dimiliki GIA pada tahun 1978, masing-masing PK-GIA “Irian Jaya”, PK-GIB “Bali”, PK-GIC “Jawa”, dan PK-GID “Sumatra”.

Buntut kecelakaan DC-10 milik American Airlines dan adanya keretakan penyangga mesin pesawat menyebabkan FAA (Federal Aviation Administration) mengeluarkan surat larangan terbang bagi DC-10, tidak terkecuali milik GIA. Pada awal Juni 1979, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara memerintahkan semua armada DC-10 milik GIA di-grounded, tidak diizinkan beroperasi sampai masalah ini diselesaikan oleh McDonnell Douglas (Douglas melebur dengan McDonnell pada tahun 1967). Selama 16 hari empat unit pesawat dibiarkan menganggur dan diperkirakan GIA rugi sampai seperempat miliar rupah per harinya.

DC-10-Garuda-1PK-GIC “Jawa” menjadi pesawat ketiga dari tipe DC-10-30, dimiliki GIA pada bulan Oktober 1977. Pada foto tampak dicat dengan logo dan livery “hockey stick” karya Vas Diaz.
DC-10-Garuda-2
PK-GID merupakan DC-10 keempat yang dimiliki GIA/Garuda Indonesia. Pada foto tampak dicat dengan livery dan logo Garuda Indonesia buatan Landor yang telah diterapkan sejak tahun 1985.

Krisis akhirnya berakhir pada tanggal 23 Juni 1979 dan GIA diizinkan kembali menerbangkan DC-10. Sebulan kemudian GIA mendapatkan pesawat kelima, PK-GIE “Kalimantan” dan terakhir PK-GIF “Sulawesi” pada bulan Agustus di tahun yang sama. Selepas kepemimpinan Wiweko Soepono dan digantikan oleh Lumenta pada tahun 1984, total GIA memiliki enam unit DC-10.

Lumenta lantas membuat terobosan dengan re-branding dari GIA menjadi Garuda Indonesia yang kita kenal saat ini. Logo dan livery desain Vas Diaz merah oranye era GIA di setiap armada diganti dengan desain Landor, tak terkecuali armada DC-10. Demi menghindari undercapacity dan menaikan jumlah penumpang, Lumenta meningkatkan frekuensi penerbangan ke Eropa dan Asia dengan DC-10 dan Boeing 747-200.

Di tambah lagi Lumenta membuka penerbangan ke Amerika Serikat dan Australia dengan DC-10. Khusus di Amerika Serikat, Garuda Indonesia bekerjasama dengan maskapai Continental sehingga dua unit DC-10 memiliki livery Garuda-Continental. Khusus kerjasama ini, Garuda Indonesia memperkenalkan kelas eksekutif/First Class  yang sebelumnya hanya kelas bisnis dan ekonomi. dengan rute Jakarta-Biak-Honolulu-Los Angeles.

DC-10-Garuda-4
DC-10 PK-GIE mengalami nasib nahas, gagal lepas landas dari Fukuoka International Airport, Jepang. Dengan membawa 261 penumpang dengan tujuan Denpasar, Bali, tiga penumpang tewas dan 109 penumpang luka-luka.

Awal 1990-an sudah sewajarnya DC-10 diganti. McDonnell Douglas MD-11 menjadi penggantinya, total ada enam unit yang dipesan, menurun dari rencana semula sebanyak 10 unit akibat mark-up harga sewa karena campur tangan kekuasaan Orde Baru waktu itu. Tiga unit tiba pada periode 1992-1993, namun sayangnya performanya tidak seperti yang diharapkan. Tiga unit berikutnya Garuda Indonesia mendapatkan versi perbaikannya, MD-11ER pada tahun 1996.

Namun badai krisis moneter 1997/1998 memaksa Garuda Indonesia merasionalisasi jumlah armadanya, MD-11 dan MD-11ER ini segera dikembalikan kepada pemiliknya. Ironis sekali bahwa DC-10 yang telah berumur masih dioperasikan Garuda Indonesia walaupun dengan ongkos operasional lebih tinggi.  Akhirnya diputuskan lima unit DC-10 dipensiunkan (satu unit PK-GIE mengalami kecelakaan di Fukuoka, Jepang), empat unit dijual sebagai besi tua pada tahun 2008. Satu unit yaitu PK-GIF masih utuh dan disimpan di GMF (Garuda Maintenance Facility) Aero Asia, digunakan untuk pelatihan teknisi dan kontra terorisme. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)