Kedatangan Boeing 747-200 pada bulan Agustus 1980 menjadi awal era pengoperasian pesawat wide bodydouble decker (badan lebar-dua tingkat) bermesin empat di Indonesia.

Kalau boleh membandingkan pada saat ini, ibarat memiliki Airbus A380 Super Jumbo, pasti sangat menghebohkan. GIA (Garuda Indonesian Airways) di bawah pimpinan Direktur Utama Wiweko Soepono mengambil kesempatan memesan enam unit Boeing 747-200 setahun sebelumnya dan pesawat pesanan pertama keluar dari pabrik pada bulan Juli 1980.

Sebelumnya GIA memiliki pesawat wide body terbesar dari tipe Douglas DC-10 (Baca: Douglas DC-10, Trijet Legendaris). Dengan kehadiran Jumbo Jet, DC-10 justru menjadi yang terbesar kedua. Kedatangannya menarik perhatian media massa dari dalam dan luar negeri. Presiden Soeharto dan Ibu Tien sempat merasakan joyflight dengan Jumbo Jet, terbang mengelilingi Pulau Jawa sebelum diresmikan pengoperasiannya oleh GIA pada tanggal 6 Agustus 1980. Dalam pidato peresmian itu, Presiden Soeharto menyebut, “….dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, dengan ini saya resmikan penggunaan pesawat Boeing-747 Garuda yang akan diberi nama City of Jakarta. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkahi kita semua.”

Boeing-747-200-Membuka-Era-Jumbo-Jet-di-Indonesia-1Direktur Utama GIA, Wiweko Soepono menandatangani pembelian Boeing 747-200 pada tanggal 11 Maret 1979. Total dipesan enam unit sebagai pendamping DC-10, melayani rute jarak jauh ke Asia Pasifik, Timur Tengah, Eropa, dan berikutnya Amerika Serikat.

Boeing-747-200-Membuka-Era-Jumbo-Jet-di-Indonesia-2Pembelian Jumbo Jet oleh GIA mendapat perhatian luas dari media massa  dalam maupun luar negeri, seperti tampak pada Majalah Asian Aviation Edisi Januari-Februari 1981 ini.

City of Jakarta yang disebut dalam pidato itu adalah nosename untuk Boeing 747-200 beregistrasi PK-GSA (awalnya PK-GBA) yang datang pertama kali. Nantinya pengiriman pesawat terus berlanjut selama dua tahun dan diberi nosename kota-kota besar di Indonesia, yaitu, PK-GSB (GBB) “City of Bandung”, PK-GSC (GBC) “City of Medan”, PK-GSD (GBD) “City of Surabaya”, PK-GSE “City of Yogyakarta”, dan PK-GSF “City of Denpasar”.

Pesawat yang juga dijuluki Queen of The Sky ini diandalkan GIA sebagai pendamping DC-10, melayani rute jarak jauh dan antar benua, mulai dari Asia Pasifik, Eropa via Timur Tengah, Australia, bahkan sempat menjajaki Pantai Barat Amerika Serikat. Kapasitas angkut penumpang Boeing 747-200 milik GIA mencapai 390 orang, dikonfigurasi atas tiga kelas, 10 kursi Kelas Satu (First Class), 54 Kelas Eksekutif (Executive Class), dan 326 Kelas Ekonomi.

Boeing-747-200-Membuka-Era-Jumbo-Jet-di-Indonesia-3Boeing 747-200 dan DC-10 di latar belakang, menjadi andalan GIA melayani rute luar negeri dari Bandara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Selain melayani penumpang dan kargo, tipe ini juga dipakai untuk penerbangan khusus yaitu penerbangan haji besar yang menjadi agenda tahunan pemerintah Indonesia dan penerbangan haji kecil (umroh). GIA yang berubah nama menjadi Garuda Indonesia sejak tahun 1984, menggunakan Boeing 747-200 milik sendiri atau menyewa dari operator luar negeri untuk kedua penerbangan haji ini.

Pada bulan Januari 1994, Garuda Indonesia mendatangkan penerusnya, Boeing 747-400 (Baca: 23 Tahun Kiprah Boeing 747-400 Garuda Indonesia) dengan ciri khas tampilan fisik winglets di kedua ujung sayapnya dan diterbangkan cukup dengan dua pilot, beda dengan 747-200 yang masih membutuhkan orang ketiga, FE (Flight Engineer). Rencananya versi -200 akan diganti seluruhnya dengan -400 pada akhir tahun 1990-an namun tidak berjalan mulus.

Boeing-747-200-Membuka-Era-Jumbo-Jet-di-Indonesia-4PK-GSB “City of Bandung” menjadi Jumbo Jet kedua milik GIA. Tampak berlogo dan berlivery Vas Diaz yang didominasi warna merah-oranye.

Boeing-747-200-Membuka-Era-Jumbo-Jet-di-Indonesia-5Boeing 747-200 beregistrasi PK-GSC di Bandara Internasional Schiphol, Amsterdam dengan livery Landor dominan warna putih-biru tua yang mulai diterapkan pada tahun 1984.

Krisis ekonomi 1997/1998 memaksa Garuda Indonesia terus mengoperasikan Boeing 747-200 berdampingan dengan 747-400 yang masih tergolong baru. Tapi pelan-pelan Jumbo Jet versi lama ini dipensiunkan, sebagai bagian dari revitalisasi armada di Garuda Indonesia, dimulai pada akhir 1990-an dan resmi tidak dioperasikan lagi pada tahun 2002/2003.

Sama seperti “adiknya”, sang “kakak” selama dioperasikan Garuda Indonesia selama lebih dari dua dekade tidak mengalami hambatan yang berarti, tidak pernah mengalami kecelakaan fatal, hanya insiden yang tidak menimbulkan korban jiwa. Walaupun sudah lama tidak eksis, tapi sejarah penerbangan di Indonesia telah mencatat, dengan tipe inilah Indonesia memasuki era Jumbo Jet, era yang sepertinya tidak akan pernah terulang kembali. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)