Sebagai bagian dari pengakuan kedaulatan Indonesia lewat perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), di Den Haag tahun 1949, Belanda wajib menyerahkan seluruh kekayaan dan aset eks Hindia Belanda, termasuk perusahaan-perusahaannya, dan maskapai penerbangannya juga tidak terkecuali.

Saat itu maskapai penerbangan yang beroperasi di Hindia Belanda adalah IIB (Interinsulair Bedrijf), berdiri berkat bantuan finansial dari maskapai penerbangan nasional Belanda, KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) sehingga sering disebut KLM-IIB. Kalau dirunut lagi sejarahnya, KLM-IIB memiliki keterkaitan erat dengan KNILM (Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij) yang lahir pada tahun 1928.

KLM-IIB-Dakota-Passanger
Dua Douglas DC-3 milik KLM-IIB versi versi angkut penumpang (passagier vliegtuig) telah dicat dengan logo, warna, dan tulisan “Garuda Indonesian Airways” sebelum pendirian perusahaan berdasarkan akta notaris. Salah satunya, PK-DPD mengantar Presiden Soekarno dari Yogyakarta menuju Jakarta pada tanggal 28 Desember 1949.

Penyerahan aset KLM-IIB kepada Indonesia (saat itu masih bernama RIS/Republik Indonesia) menjadi aset maskapai penerbangan yang baru saja dibentuk pemerintah yaitu Garuda Indonesian Airways (GIA), sebuah usaha angkutan penerbangan patungan antara kedua negara dan pembentukannya berdasarkan akta notaris Raden Kadiman Nomor 137 tanggal 31 Maret 1950.

Tanggal akta notaris inilah yang menjadi tanggal de jure kelahiran GIA yang dikenal saat ini sebagai Garuda Indonesia. Uniknya GIA sudah muncul tiga bulan sebelumnya, dua unit Douglas DC-3 Dakota milik KLM-IIB yang dicat dengan logo, warna, dan tulisan Garuda Indonesia Airways, mengantar Presiden Soekarno, keluarga, dan jajaran kabinet pemerintahan RIS dari Yogyakarta (ibukota perjuangan) menuju Jakarta (ibukota negara) pada tanggal 28 Desember 1949. Tanggal ini yang ditetapkan sebagai tanggal de facto kelahiran GIA.

KLM-IIB-Dakota-Cargo
Douglas C-47 versi angkut kargo (vracht vliegtuig). Pesawat ini menjadi salah satu dari 12 unit yang diserahkan KLM-IIB ke GIA.

Pada akta notaris dengan nomor dokumen 136 tersebut pada halaman 26-27 tertera detail penyerahan aset kepada Garuda Indonesian Airways NV (Naamloze Vennootschap), meliputi aset perumahan karyawan, kendaraan operasional, kantor, dan tentu saja pesawat.

KLM-IIB menyerahkan sebanyak 11 unit Douglas DC-3 versi angkut penumpang (passagier vliegtuig), 12 unit Douglas C-47 versi angkut kargo (vrachtvliegtuig), dan tiga unit pesawat amfibi PBY Catalina kepada GIA. Untuk Douglas DC-3 registrasinya dari PK-DPA s/d DPK, sedangkan C-47 memiliki nomor registrasi acak mengingat aslinya merupakan hibah dari militer Belanda khususnya dari Skuadron Angkut 19 ML (Militaire Luchtvaart).

akta-notaris-Raden-Kadiman
Nomor dokumen 136, akta notaris Raden Kadiman halaman 26-27 menunjukan detail penyerahan aset dari KLM-IIB ke GIA.

Berdasarkan akta notaris ini pula tampak GIA menerima tiga unit pesawat angkut beregistrasi PK-CTA, PK-CTB, dan PK-CTD. Tipe pesawat itu adalah pesawat amfibi PBY Catalina. Aslinya KLM-IIB memiliki empat unit pesawat dari tipe ini, namun PK-CTC mengalami kecelakaan saat lepas landas dan tenggelam di Danau Poso, Sulawesi Tengah pada tanggal 8 Maret 1948. Alhasil hanya diserahkan hanya tiga unit saat akte ini ditandatangani. Walaupun demikian GIA nantinya memiliki total empat unit PBY Catalina, sama seperti KLM-IIB, dengan menyerahkan pengganti PK-CTC yaitu PK-CTE sehingga cocok dengan pernyataan Berita Negara RIS Nomor 30 tanggal 12 Mei 1950 bahwa GIA menerima empat unit PBY Catalina dari KLM-IIB. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)