Selain pesawat tempur, AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) mengandalkan rudal darat ke udara S-75 Dvina buatan Uni Soviet untuk melindungi Jakarta saat Kampanye Trikora dan Dwikora berlangsung.

Lewat Proyek A, rudal S-75 Dvina berikut peluncur dan radar pemandunya dibawa dengan kapal laut menuju Tanjung Priok, Jakarta pada tahun 1962. Sistem rudal ini tergolong canggih dan baru resmi empat tahun sebelumnya memperkuat Pakta Warsawa. Untuk tetap menjaga kerahasiaan, senjata anti pesawat terbang yang sanggup merontokan pesawat musuh di ketinggian lebih dari 25 km ini diangkut lewat jalur darat ke Pangkalan Angkatan Udara Kalijati yang lokasinya relatif tersembunyi.

SA-75 atau sebagai SA (Surface to Air)-2 “Guideline” oleh pihak NATO (North Atlantic Treaty Organization) tergabung dalam Wing 100 Hanud (Pertahanan Udara) yang terdiri atas tiga skadron peluncur rudal dan satu skadron teknik rudal. Keempat skadron itu meliputi Skadron 101 yang ditempatkan di Cilodong, Skadron 102 di Cilincing, Skadron 103 di Tangerang, dan Skadron Teknik 104 di Pondok Gede.

Rudal S-75 berserta perangkat peluncurnya, memperkuat AURI pada tahun 1962 untuk melindungi ibukota Jakarta.

Untuk pemasangan dan mobilitas, rudal S-75 dan sistem pendukungnya dibawa dengan trailer khusus dan ditarik oleh truk tronton Zil 157 6 x 6.

Pertengahan tahun 1963, dari Kalijati dan Pondok Gede sebagai pangkalan udara logistik, rudal dan sistemnya diangkut dan disebar ke ketiga skadron. Masing-masing skadron memasang enam rudal plus enam rudal lainnya sebagai cadangan, siap melindungi ibukota, sebagai antisipasi penyerangan dari arah sebelah barat yaitu Inggris di Malaysia yang merupakan sekutu Belanda sekaligus sama-sama negara anggota NATO.

Pengiriman SDM (Sumber Daya Manusia) untuk mengoperasikan rudal ini disebut Naya 2, dilaksanakan setahun sebelumnya. Selain anggota AURI, mahasiswa dari ITB (Institut Teknologi Bandung) juga diikut sertakan. Mereka dikirim bukan ke Uni Soviet melainkan ke Polandia karena negara ini memang ditunjuk Uni Soviet sebagai tempat pelatihan kru S-75. Ada sekitar 100 orang yang dikirim, di mana 15 set kru ditugaskan mengawaki satu skadron rudal, sisanya sebagai operator radar yang tergabung di Wing 200 Hanud Radar.

Untuk mengarahkan ke sasaran, S-75 sangat tergantung pada radar. Dalam pengoperasiannya, rudal dua tingkat yang sanggup melejit dengan kecepatan Mach 3,5+ ini beserta peluncurnya ditempatkan melingkar secara heksagonal dengan radar pemandu SNR-75 “Fan Song” sebagai pusatnya. Untuk membantu mobilitas dalam pegelarannya digunakan truk tronton Zil 157. Satu situs rudal didukung oleh unit komputer, radar IFF (Identified Friend or Foe), search and acquisition, guidance radar on trailer, dan dua unit generator 75 kVA (Kilo Volt Ampere) untuk latihan dan 150 kVA untuk peluncuran rudal secara salvo.

AURI memiliki tiga skadron rudal operasional, masing-masing memiliki enam rudal plus enam cadangan. Situs S-75 disebar mengelilingi Jakarta.

S-75 digelar saat Latgab (Latihan Gabungan) ABRI/Angkatan Bersenjata Republik Indonesia-Tutuka II pada tahun 1977. Sistem rudal pertahanan udara ini masih dioperasikan sampai tahun 1980.

Situs rudal S-75 memang tidak bisa beroperasi sendirian, masih harus dibantu oleh satuan-satuan radar di sekitarnya. Jika ada target tidak dikenal, operator radar akan menghitung posisi, kecepatan, dan ketinggiannya. Peluncuran rudal wajib diketahui dan diputuskan langsung oleh presiden sebagai panglima tertinggi karena sekali S-75 ditembakan, tidak dapat dibatalkan, berbeda dengan pesawat tempur yang dapat berputar balik.

Saat Kampanye Trikora dan Dwikora, ada saja pesawat intai yang diperkirakan Lockheed U-2 Dragon Lady milik Amerika Serikat melintas tinggi di atas Jakarta. Mengintai wilayah Jawa khususnya pangkalan udara AURI dan Bandara Internasional Kemayoran yang saat itu dipenuhi pesawat tempur dan pembom buatan Blok Timur. Jika pesawat intai tersebut ditembak atas seizin Presiden Soekarno, pertaruhan politik dan kemungkinan pecah perang terbuka menjadi sangat tinggi. Sama seperti kasus ditembak jatuhnya U-2 yang diterbangkan Francis Gary Powers pada tanggal 1 Mei 1960, membuat Perang Dingin semakin memanas.

Selama pengoperasiannya oleh AURI, beberapa rudal S-75 diluncurkan untuk latihan, tidak pernah dipakai untuk menembak jatuh pesawat musuh. Beda jauh saat Perang Vietnam di mana ratusan S-75 diluncurkan dan menjadi musuh utama pembom strategis Boeing B-52 Stratofortress. Bahkan saat Perang Teluk pada tahun 1991, S-75 yang teknologinya sudah dianggap ketinggalan zaman, masih menunjukan giginya dengan merontokan beberapa unit pesawat tempur koalisi pimpinan Amerika Serikat.

Setelah resmi pensiun pada tahun 1984, S-75 diabadikan menjadi koleksi museum, salah satunya dipajang di halaman Museum Dirgantara Mandala, Yogyakarta.

Selain dipajang di halaman, di dalam Museum Dirgantara Mandala terdapat S-75 lainnya yang terpasang di trailer khusus.

Peralihan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru semakin mengecilkan peran S-75 sebagai rudal pertahanan udara. Sebagian besar peralatan beserta rudal diserahkan ke Amerika Serikat sebagai sarana tukar guling mendapatkan peralatan militer buatan Barat. Periode tahun 1979-1980, situs S-75 dan sistem pendukungnya yang masih ada, digunakan hanya sebatas sarana pemeliharaan dan keterampilan pengoperasional rudal, sampai benar-benar resmi dipensiunkan dan dihapus dari inventaris pada tahun 1984.

Sisa-sisa S-75 lantas dihancurkan sebagai besi tua, ada yang disumbangkan ke LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) untuk penelitian dan pengembangan proyek roket sonda, lainnya disumbangkan ke museum atau menjadi monumen. Indonesia menunggu cukup lama untuk mengoperasikan lagi rudal pertahanan udara setara S-75, sampai hadirnya NASAMS (Norwegian Advanced Surface to Air Missile System) 2 pada tahun 2020, yang digelar di Teluk Naga, Tangerang juga sebagai bagian dari pertahanan ibukota seperti halnya S-75. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)