Papua yang kaya akan hasil mineral membutuhkan pemotretan udara lebih dahulu sebelum dieksplorasi. Upaya ini sangat menantang, selain karena pemotretan udara untuk pemetaan wilayah masih tergolong hal yang baru, juga banyak kesulitan lainnya, mengingat harus mengoperasikan pesawat dari tempat terpencil.

Nama Papua awalnya dikenal sebagai Nieuw (New) Guinea, diberikan oleh penjelajah Spanyol Yñigo Ortiz de Retez yang telah berlayar sampai ke muara Sungai Mamberamo pada tahun 1545. Dia memberikan nama itu karena terkesan dengan kesamaan lingkungannya dengan Guinea di pantai barat Afrika. Pulau kedua terbesar di dunia ini akhirnya dibagi dua kolonialisasinya, Papua sebelah timur dikuasai Inggris sedangkan Papua sebelah barat dimasukkan ke dalam jajahan Hindia Belanda pada tahun 1828.

Pada tahun 1930-an, wilayah Papua yang masih perawan menjadi sasaran eksplorasi berikutnya–setelah Sumatra dan Kalimantan (Borneo)–dari perusahaan minyak kerjasama Belanda dan Inggris, Shell.  Pemerintah Hindia Belanda memberikan konsensi 10 juta ha (hektar) di daerah Kepala Burung (Vogelkop) yang secara bertahap dikembalikan untuk menyisakan 1 juta ha untuk eksplorasi sebenarnya.

NNGPM-Dragon-Rapide-1
Sebelum bertugas di Papua, Hindia Belanda, Dragon Rapide milik KNILM/NNGPM ini dipasang kamera lebih dahulu di Waalhaven, Rotterdam.

Agar dapat memastikan kekayaan alam di dalamnya dan memetakan lebih detail, diperlukan foto udara. Walaupun eksplorasi alam di Papua sangat potensial tapi resikonya juga besar, Shell lantas melakukan kerjasama investasi dengan perusahaan minyak lainnya, Texaco dan Standar Oil dari Amerika Serikat. Mereka sepakat membentuk konsorsium bernama NNGPM (Nederlandsch Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij) dan mengontrak maskapai penerbangan Hindia Belanda, KNILM (Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij) untuk tugas pemotretan udara.

NNGPM membeli tiga unit de Havilland DH-89 Dragon Rapide dan diberi registrasi PH-AKU, PH-AKV, dan PH-AKW. Sebelumnya konsorsium mendatangkan pesawat Fokker VIIb Trimotor namun ditolak karena tidak cocok untuk tugas survei dan pemetaan udara jarak jauh. Pesawat sayap ganda ini dilengkapi peralatan canggih di eranya, gyro flight, radio Marconi, dan kamera Zeiss Aerotopograph P10, ditambah tangki cadangan di dalam kabin yang sekaligus menjadi meja kerja. Perlengkapan itu selesai dipasang pada akhir bulan September 1935 dan ketiganya diterbangkan dari Amsterdam menuju lapangan terbang Babo, Papua.

Penerbangan lebih dari 16.000 km itu cukup lancar, walaupun PH-AKV sempat kesasar dan terpaksa mendarat darurat di pantai di wilayah Birma. Sebelum ke Babo, pesawat mendarat di Kupang dan karena keduanya dianggap terlalu jauh maka dibuat lapangan terbang tambahan di Pulau Seram, Maluku. Bulan November ketiganya telah sampai dan siap bertugas. Registrasi seluruh pesawat ini juga telah diganti menjadi PK.

Fasilitas di Babo memang seadanya. Rumah tempat tinggal hanya berupa gubuk kayu  beratap rumbia. Kelembaban tinggi dan lumpur tinggi menyelimuti di musim hujan. Tapi seluruh personil bekerja keras untuk membangun pangkalan ini, mereka mendirikan asrama, bengkel, gudang, klinik, stasiun radio, dan laboratorium untuk mencuci film. Semua bangunan ini sederhana, lagi-lagi terbuat dari kayu beratap rumbia. Untuk kebutuhan pokok, bahan bakar, dan barang-barang lainnya, NNGPM mengirimkan lewat kapal laut.

NNGPM-Dragon-Rapide-2
Dragon Rapide PK-AKW tergelincir dan terbalik di Babo akibat landasan licin. Pesawat ini akhirnya disingkirkan dan menyisakan dua unit saja untuk pemotretan udara.

Karena wilayah konsensinya begitu luas, KNILM membangun lapangan terbang tambahan, yaitu Efman (Sorong-Jefman), Seroei (Pulau Japen), Aika, dan Teluk Etna dengan Babo tetap sebagai pangkalan utama. Tiap pesawat memiliki tiga kru, pilot, navigator, dan operator kamera merangkap radio. Karena daratan sering diselimuti kabut tebal, kegiatan pemotretan udara yang baik rata-rata sehari hanya 30 menit, sisanya adalah terbang melintasi awan tebal dan turbulensi yang mengoncangkan pesawat sehingga membuat kru mabuk udara.

Tantangan lainnya adalah hujan deras, air bahkan masuk ke dalam kabin sehingga kru basah kuyup setelah mendarat. Hujan ini juga membuat landasan berlumpur dan licin, korban pun tinggal menunggu waktu. PK-AKW yang hendak mendarat di Babo dari Efman terpeleset dan terbalik. Tidak ada korban jiwa tapi Dragon Rapide ini rusak parah dan tidak dipakai lagi, sehingga menyisakan hanya dua unit saja.

Walaupun terbatas tapi kedua pesawat berhasil memotret 5 juta ha atau setengah dari wilayah konsensi. Peran Dragon Rapide berakhir saat KNILM menggantikannya dengan dua unit pesawat amfibi Sikorsky S.38 (PK-AKS dan PK-AKT) pada bulan November 1936. Menggunakan pesawat amfibi lebih ideal daripada Dragon Rapide karena lebih fleksibel, dapat beroperasi baik di darat maupun laut dengan memanfaatkan tepi pantai, danau, dan sungai.

Kedua Dragon Rapide diterbangkan ke Andir, Bandung untuk perawatan berat sebelum bertugas kembali namun kali ini ke Kalimantan, disewa oleh perusahaan tambang asal Australia. Keduanya melaksanakan pemotretan/pemetaan udara bahkan sampai ke Brunei. Sayangnya PK-AKU jatuh di Ketapang, Kalimantan Barat pada bulan Agustus 1938.

NNGPM-S38-1
Sikorsky S.38 PK-AKS (nantinya diberi nama hidung/nose name Bakopa) di Aika. Pesawat amfibi ini menjadi pengganti Dragon Rapide untuk pemotretan udara di Papua namun nasibnya nahas, hancur akibat serangan Jepang saat berada di Buitenzorg (Bogor).

Foto-foto udara dan hasil pemetaan yang dibuat oleh pesawat-pesawat KNILM/NNGPM ini memang bagus kualitasnya, bermanfaat untuk membuat peta topografi, survei geologi, dan proyek lainnya bahkan dibuat dengan skala 1 : 5000. Sayangnya peta-peta tersebut tidak dimanfaatkan untuk eksplorasi karena keburu pecah Perang Pasifik.

Pesawat yang masih ada dan pernah digunakan untuk pemotretan udara ini juga nasibnya buruk akibat perang. PK-AKV sengaja dihancurkan di Andir agar tidak jatuh ke tangan musuh, sedangkan kedua pesawat amfibi hancur akibat serangan udara Jepang saat berada di Semplak, Buitenzorg (Bogor). (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)