Di era belum adanya CGI (Computer Generated Imagery) atau sudah ada, namun mahal, tidak sempurna,  dan kurang nyata, produser film wajib membuat replika benda sebenarnya untuk kepentingan syuting.

Hal yang sama juga dialami saat membuat film Serangan Fajar. Film berbiaya besar pada tahun 1981 ini memiliki potongan kisah tentang serangan udara balasan di pagi hari yang dilakukan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) menggunakan tiga pesawat eks Jepang (Baca: Film Serangan Fajar, Sepotong Kisah Hari Bakti TNI-AU).

PPFN (Pusat Produksi Film Negara) yang bertanggung jawab terhadap produksi film ini tidak tanggung-tanggung meminta bantuan dari ahlinya yaitu perancang pesawat bernama Suharto sebagai konsultan untuk membangun replika ketiga “pesawat”, dua Cureng dan satu Guntei dengan skala sebenarnya, alias 1 : 1!

Cureng-Serangan-Fajar-4Rangka Cureng dibangun dengan bahan kayu tebal.

Cureng-Serangan-Fajar-5
Guntei dipasang kulitnya yang terbuat dari alumunium.

Cureng-Serangan-Fajar-2
Kedatangan tim PPFN untuk meninjau ketiga “pesawat”.

Cureng-Serangan-Fajar-6
Suharto (kiri) sebagai pembuat ketiga “pesawat”.

Bagi dunia penerbangan Indonesia, nama Suharto dikenal sebagai insinyur penerbangan, staf teknik PT. Chandra Dirgantara, pencetus ide memproduksi pesawat latih LIPNUR LT-200 (Baca : Swadaya Pesawat Latih yang Gagal – LT-200 Skytrainer) dan berikutnya merancang prototipe pesawat komuter XT-400 bersama LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional).

Di negara dengan industri perfilman maju seperti Amerika Serikat, melibatkan ahli di bidangnya bukan hal aneh. Banyak ilmuwan, profesor, ahli bahasa, ahli sejarah, desainer, dan sebagainya dilibatkan sebagai konsultan untuk film yang akan dibuat. Apapun dilakukan agar film terlihat nyata bagi penonton.