WEL-1 sebenarnya tergolong pesawat swayasa (home build), sebagai tahapan berikutnya dari usaha uji coba membuat pesawat secara mandiri, sekaligus untuk memperkenalkan teknologi dirgantara ke masyarakat Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaan.

Setelah Biro Rencana dan Konstruksi AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) sukses membangun enam unit pesawat layang (glider) NWG-1 (Baca :Pesawat Layang NWG-1, Titik Awal Lahirnya Teknologi Penerbangan), secara logis produksi selanjutnya adalah pesawat ringan bermesin. Lagi-lagi karena anggaran sangat minim, desainnya harus sederhana, harus bisa memanfaatkan suku cadang dan bahan yang tersedia.

Kali ini Opsir Udara III Wiweko Soepono yang harus memimpin sendiri rencana produksi tersebut, tidak dibantu oleh Opsir Udara II Nurtanio yang saat itu sedang berada di Manila, Filipina untuk tugas belajar ilmu aeronautika di FEATI (Far East Aero Technical Institute).

WEL-1-RI-X-2
Opsir Udara III Wiweko Soepono sedang memeriksa mesin sepeda motor Harley Davidson 750 cc dua silinder untuk dipasang pada WEL-1.

WEL (Wiweko Experimental Lightplane)-1 adalah pesawat sangat ringan (ultralight), berawak satu orang, kokpit terbuka, dan bersayap tunggal tinggi (high wing monoplane) dengan bertumpu pada penguat sehingga disebut juga sayap payung (parasol). Tidak pernah terungkap mengapa Wiweko terinspirasi merancang pesawat dengan bentuk seperti ini, tapi dugaannya sewaktu remaja aktif menjadi anggota Klub Penerbangan Remaja Bandung dan membangun pesawat model, pernah melihat desain pesawat serupa di Andir.

Tipe pesawat mirip WEL-1 bersayap parasol ini sempat tren pada tahun 1920-an di Amerika Serikat. Contoh yang terkenal adalah Heath Parasol. Desain sayap payung memudahkan dalam penyimpanan. Cukup melepas sayap, pesawat dapat disimpan di gudang atau garasi rumah. Desain sayap dan badan (termasuk ekor) dirancang dapat dibangun secara mudah dan terpisah. Karena bersifat swayasa, motor penggerak dapat mengadopsi dari mesin otomotif, selama memenuhi persyaratan : ringan dan cukup tenaganya. Bisa jadi ini pula yang menjadi inspirasi Wiweko.

Idealnya WEL-1 dibuat di Andir karena memiliki fasilitas dan suku cadang yang lengkap, namun karena Bandung sudah dikuasai Belanda, pembuatan dialihkan ke Maospati, Madiun, walaupun tidak selengkap di Andir, tapi masih memiliki banyak bahan dan suku cadang yang dibutuhkan.

WEL-1-RI-X-3
Pembuatan rangka pesawat WEL-1 oleh teknisi dari Bengkel Teknik Udara Maospati, Madiun, ditambah dengan bantuan dari masyarakat setempat.

Pada tahun 1948 dengan lama pembuatan kurang lebih lima bulan, pesawat dengan panjang sayap 9 m, panjang badan 5,05 m, dan tinggi 2,4 m ini diselesaikan di salah satu hanggar di Maospati dengan bantuan teknisi dari Bengkel Teknik Udara dan masyarakat setempat. Motornya menggunakan mesin sepeda motor Harley Davidson 750 cc buatan tahun 1928 yang menghasilkan tenaga 20 tk. Bahannya sama dengan NWG-1 dan suku cadangnya mengandalkan material yang tersedia. Selain komponen otomotif pada mesin, roda WEL-1 menggunakan roda motor skuter.

Setelah selesai, pesawat dengan berat kosong 263 kg ini diuji coba oleh tes pilot, Suhanda, bekas pilot Jepang yang membelot membantu AURI sekaligus sebelumnya pernah menguji pesawat pembom Bristol Blenheim bermesin buatan Jepang, Sakai. Pesawat ini lepas landas dengan mulusnya dan dapat mencapai kecepatan jelajah 85 km/jam. Oleh AURI, WEL-1 diberi registrasi RI-X yang merupakan pesawat eksperimental.

Seperti tujuan semula, pesawat ini lantas dipamerkan kepada masyarakat untuk mempromosikan Biro Rencana dan Konstruksi AURI sekaligus membangun wawasan dirgantara (air minded) di masyarakat. WEL-1 sempat tampil di pameran kedirgantaraan di Yogyakarta pada tanggal 17-23 Agustus 1948 yang dihadiri dan diresmikan oleh Presiden Soekarno. Sayangnya akibat kecerobohan, pesawat yang dikirim lewat kereta api itu malah hancur terkena ledakan granat di dalam gerbong saat perjalanan pulang ke Madiun.

WEL-1-RI-X-4
Proses pembuatan WEL-1 yang hampir jadi. Tampak pada bagian ekor pesawat sudah tertera registrasi RI-X (eXperimental).

Ingin membuat kembali WEL-1 tidak sempat dilakukan karena Wiweko sibuk mempersiapkan pembelian pesawat angkut Douglas C-47/DC-3 Dakota yang kelak diberi nama Seulawah, dibeli berkat sumbangan saudagar-saudagar asal Aceh. Tapi keinginan membuat lagi WEL-1 terus tertanam di benak Wiweko.

Saat menjadi Direktur Utama maskapai penerbangan GIA (Garuda Indonesian Airways), Wiweko menugaskan dua tim di Jakarta dan Bandung, masing-masing membuat satu unit replika WEL-1. Pembangunan replika ini ada ceritanya sendiri, tapi yang pasti kedua unit replika itu menjadi koleksi dari Museum Satria Mandala, Jakarta dan Museum Dirgantara Mandala, Yogyakarta, sebagai bukti sejarah untuk generasi muda bahwa tipe inilah yang merupakan pesawat bermesin pertama buatan Indonesia. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)