Pesawat regional berkapasitas 50-68 penumpang N250 menjadi bintang industri dirgantara nasional pada tahun 1990-an dan promosinya dilakukan besar-besaran seperti tampak pada iklan yang dimuat di majalah Angkasa No. 12 September 1994 ini.
Sebuah pertaruhan dan memakan investasi sangat besar saat Menristek (Menteri Ristek dan Teknologi) sekaligus merangkap Direktur Utama IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) B.J. Habibie saat menggulirkan proyek nasional ini pada akhir tahun 1980-an. N250 dianggap langkah tepat berikutnya setelah berhasil memproduksi CN235 kerjasama IPTN dengan pabrik CASA asal Spanyol.
Seperti tergambar pada kalimat utamanya “N250 Menjawab Tuntutan Kebutuhan Penerbangan Nasional Masa Depan”, pesawat ini didesain sebagai pesawat turboprop jarak pendek (300 nm/555 km) dan digembor-gemborkan sebagai yang tercanggih di kelasnya dengan menggunakan teknologi fly by wire, ditambah lagi desain interiornya yang mirip pesawat badan sempit bermesin jet.
Dalam iklan itu juga tersurat betapa pesawat regional turboprop akan cerah kebutuhannya di masa depan dengan operasional rendah bila dibandingkan menggunakan pesawat jet. Oleh Habibie, N250 dianggap sebagai penentu kemandirian negeri ini dalam memproduksi pesawat terbang. Saking optimisnya, dia bahkan berencana membangun pabrik di Amerika Serikat untuk menguasai pasar Amerika Utara yang potensial.
Tapi akhirnya impian dan rencana ini kandas. Sudah dibuat dua prototipe yang sudah terbang dan menyusul dua lagi, Indonesia mengalami krisis moneter 1997/1998. Berikutnya pemerintahan Orde Baru sebagai pendukung utama proyek ini runtuh sekaligus menghentikan pengembangannya. IPTN yang berubah nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia saat era reformasi, masih menyimpan dua unit prototipe itu sekaligus mock-up kokpit dan badan pesawat untuk promosi sekaligus mengingatkan dulunya pernah ada proyek N250 tapi gagal di tengah jalan akibat terlalu ambisius dan lebih mementingkan ego kecanggihan bukan pada kebutuhan. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)