Selama kurang dari seminggu, dua jenis pesawat buatan LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan) melakukan terbang lintas alam dan singgah di pangkalan-pangkalan udara di Pulau Jawa. Ini sebagai pembuktian kualitas pesawat produksi dalam negeri dan sekaligus mengenalkan dunia dirgantara kepada masyarakat.

LAPIP resmi berdiri pada bulan Desember 1961 lewat Skep (Surat Keputusan) Menteri/KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) No.488 1 Agustus 1960 sebagai pengembangan dari DPPP (Depot Penyelidikan Percobaan dan Pembuatan Pesawat Terbang) milik AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Instansi pimpinan Kolonel Udara Nurtanio ini telah memiliki dua produk buatan sendiri yang siap diproduksi massal, Nurtanio Nu-90 Belalang dan Nu-25 Kunang.

Belalang merupakan pesawat latih mula, modifikasi dari Piper Cub tapi performanya lebih unggul karena berkonfigurasi sayap rendah dan bermesin lebih kuat, Continental 90 pk (Baca : Swadaya Pesawat Latih yang Gagal – Nu-85/90 Belalang). Ditambah lagi kaca kokpitnya berdesain gelembung, sehingga siswa dan instruktur dapat melihat lebih leluasa ke luar. Komando Pendidikan AURI ingin memilikinya sebagai pengganti Piper Cub, TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat) memesan sebagai rintisan pembangunan sayap udaranya, dan sekolah penerbang sipil LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara) Curug menunjukan minat yang sama.

Kunang-Belalang-Taklukan-Jawa
Pesawat olahraga Nu-25 bernomor 04 di ekornya ini diuji coba Nurtanio untuk terbang lintas alam mengelilingi Pulau Jawa pada tanggal 12-18 Juni 1962, sekaligus mengenalkan LAPIP kepada masyarakat.

Kunang adalah pesawat olahraga mungil berteknologi swayasa, terbuat dari kayu jamuju, triplek, dan dibungkus kain CP (cotton pique). Mesinnya mobil VW (Volkswagen) 1190cc/25 pk untuk memutar baling-baling dari kayu. Roda pendaratnya menggunakan ban motor skuter. Harganya murah karena biaya produksinya juga murah, oleh karena itu Kunang cocok dipasarkan untuk klub terbang (aero club) dan perorangan. Rencana berikutnya Nurtanio akan membangun versi dua tempat duduk, memasang mesin lebih bertenaga yang disebut sebagai Super Kunang.

Tentunya prestasi dan keberadaan LAPIP ini harus dipromosikan ke masyarakat untuk membangkitkan minat dirgantara. Direncanakanlah terbang lintas alam (cross country) di Pulau Jawa, dengan rute  : Bandung-Tasikmalaya-Purwokerto-Yogyakarta-Solo-Surabaya-Semarang-Cirebon-Bandung. Selain untuk promosi, penerbangan ini juga merupakan uji terbang bagi kedua tipe pesawat.

Disiapkan tiga pesawat, satu Kunang diterbangkan oleh Nurtanio (04) dan dua Belalang diterbangkan oleh Suripto Sugondo (P-373) dari aeroclub Bandung, Aviantara dan Wiweko Soepono (P-354). Sebagai catatan Wiweko adalah teman lama Nurtanio. Bersama J. Salatun, mereka mendirikan Biro Konstruksi dan Penerangan AURI saat revolusi fisik (Baca : Pesawat Layang NWG-1, Titik Awal Lahirnya Teknologi Penerbangan). Pada waktu itu Wiweko yang telah keluar dari AURI sudah menyelesaikan kuliah S2 di Universitas Berkeley dan bekerja sebagai pilot penyemprot hama tembakau di PPN (Perusahaan Perkebunan Nasional)-Baru, Sumatra Utara. Karena berstatus pilot lepas, dia dapat meluangkan waktu membantu Nurtanio dalam penerbangan ini.

Hari Selasa, pagi hari tanggal 12 Juni 1962, di PAU (Pangkalan Angkatan Udara) Husein Sastranegara, ketiga pesawat disiapkan. Nurtanio menyiapkan pula satu Piper Tri-Pacer (R-101) yang diterbangkan oleh Mayor Udara Aryono dan satu helikopter Mil Mi-4 (H-206), dengan Kapten Udara Kusnindar dan Letnan Muda Udara Noor Aniek sebagai pilot dan kopilot. Tri-Pacer akan terbang lebih dahulu sebagai pesawat pionir, memantau kondisi cuaca di kota tujuan sedangkan Mi-4 terbang di belakang formasi ketiga pesawat, berfungsi sebagai helikopter pengawal sekaligus membawa rombongan wartawan.

Kunang-Belalang-Taklukan-Jawa2Penerbangan lintas alam Nu-25 didampingi oleh dua pesawat latih mula Nu-90 Belalang, bernomor P-354 diterbangkan oleh Wiweko Soepono dan P-373 oleh Suripto Sugondo.

Selain Air Group ini, Nurtanio juga membentuk Ground Group pimpinan Ir. Mulyono Adikusumo. Mereka telah berangkat dua hari sebelumnya lewat darat untuk menyiapkan pameran LAPIP (panggung, stan statis, pameran pesawat model, dsb.) di PAU yang dituju selain tugas utamanya sebagai tim teknisi bila pesawat mengalami masalah teknis.

Pukul 07.00 seharusnya ketiga pesawat sudah lepas landas, namun menimbang kondisi cuaca dan kesiapan teknis, penerbangan ditunda dan baru pukul 08.20 terbang meninggalkan Bandung. Penerbangan ke Tasikmalaya membutuhkan waktu kurang lebih sejam dan rombongan ini disambut meriah oleh masyarakat di sana.

Di kota persinggahan pertama ini, Nurtanio mempresentasikan Kunang dan Belalang serta misi dan visi LAPIP, lalu mengadakan joy flight untuk tamu undangan. Pukul 11.30, Air Group berpamitan, terbang menuju PAU Wirasaba dan mendarat pukul 12.30. Mereka menginap di Purwokerto dan pagi harinya mengadakan pameran dan joy flight.

Menjelang siang, mereka kembali terbang dan mendarat di PAU Adisucipto. Kunjungan di Yogyakarta ini penting mengingat Komando Pendidikan AURI telah menerima tiga unit Belalang model pra produksi untuk diuji coba. Tercatat delapan kadet AURI berhasil terbang solo menggunakan pesawat latih ini. Setelah presentasi, membuka pameran, dan joy flight, Air Group lepas landas pada sore hari menuju Solo dan menginap di sana.

Pagi hari di PAU Panasan, setelah presentasi, pameran, dan joy flight, aero klub Solo, PPTL (Persatuan Perkumpulan Terbang Lajang) menyatakan ketertarikannya pada Kunang. Nurtanio menyanggupi, tapi dengan catatan, mesin diusahakan sendiri. Bila tanpa motor, Kunang dijual dengan harga Rp 400ribu dan harga mesin VW berkisar Rp 275ribu-Rp 500ribu. Dengan harga total maksimum Rp 900 ribu, tentunya Kunang lebih murah daripada harga sedan VW. Dari Solo Air Group kembali mengudara pada pukul 09.30 dan mendarat di Morokembangan, pangkalan udara milik ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) sebelum tengah hari, memutuskan untuk menginap dan baru besoknya mengadakan kegiatan.

Beda dengan AURI dan TNI-AD, ALRI belum memiliki sekolah penerbang. Mungkin karena armada pesawatnya masih sedikit dan lebih memprioritaskan pengadaan kapal perang, para calon pilot ALRI dididik di luar negeri yang merupakan satu paket dengan pembelian pesawat. Kehadiran Kunang dan Belalang tentunya untuk menggugah ALRI untuk membangun sekolah penerbang secara mandiri di Surabaya. Karena bertepatan dengan hari Sabtu, Nurtanio mengadakan acara sehari penuh. Pagi sampai siang, kegiatan pameran dan demo terbang untuk tamu undangan, dilanjutkan siang sampai sore untuk masyarakat dan anak-anak sekolah. Pilot-pilot ALRI juga ikut merasakan terbang tandem dengan Belalang. Besoknya Air Group berangkat menuju ke Kalibanteng dan tiba pukul 11.00.

Setelah beristirahat, pukul 16.00 Nurtanio mengadakan pameran di lapangan terbang milik TNI-AD ini. Kunjungan Air Group ini tentu semakin meyakinkan TNI-AD untuk membeli dan menggunakan Belalang. Di luar dugaan, masyarakat Semarang antusias menyambut mereka. Lalu lintas jadi macet, tidak kurang dari 6.000 orang membanjiri Kalibanteng, semua ingin melihat dari dekat kedua tipe pesawat buatan Indonesia ini. Terlebih lagi Nurtanio walaupun lahir di Kalimantan, merupakan putra daerah, ada kebanggaan tersendiri di hati masyarakat Semarang.

Besok paginya, Air Group lepas landas dan mendarat di PAU Penggung. Rencananya hanya singgah untuk mengisi bahan bakar, tapi ternyata pejabat dan masyarakat Cirebon ingin melihat juga dari dekat Kunang dan Belalang. Nurtanio menyetujui mengadakan pameran singkat dan pukul 12.15, Air Group lepas landas dan mendarat di PAU Husein Sastranegara pukul 13.00.

Dengan ini berakhir penerbangan lintas alam bagi ketiga pesawat pada tanggal 18 Juni 1961. Tidak ada masalah yang berarti, Kunang dan Belalang menunjukan performa yang baik dalam uji terbang mengelilingi Jawa. Insiden justru terjadi pada heli pengawal yang terpaksa mengalihkan pendaratan ke PAU Iswahyudi akibat gangguan teknis saat Air Group terbang dari Solo menuju Surabaya. Sebagai pelengkap, beberapa hari kemudian, ketiga pesawat bertolak menuju Kemayoran untuk dipamerkan bagi masyarakat Jakarta.

Kunang-Belalang-Taklukan-Jawa3
Nu-25 Kunang diabadikan menjadi salah satu koleksi Museum Satria Mandala, Jakarta. Masih tampak kerusakan akibat banjir Jakarta beberapa tahun lalu.

Di setiap kota tujuan, Nurtanio dalam pidato sambutannya selalu menerangkan misi dan visi LAPIP kepada masyarakat yang terangkum dalam Tri Program : membangun industri penerbangan nasional, membantu pemerintah sebagai bagian dari pembangunan industri negara, dan terus-menerus mengadakan penelitian industri penerbangan.

Untuk mewujudkan itu Nurtanio juga menjelaskan usaha-usaha yang sedang dilakukan seperti pembangunan fasilitas pabrik, penandatanganan kontrak produksi lisensi PZL-104 Wilga (Presiden Soekarno memberikan nama “Gelatik”) dan de Havilland Canada  DHC-3 Otter (“Belibis”), pembuatan pesawat Super Kunang, gyrocopter “Kolentang”, helikopter “Kepik”, dan pesawat khusus pertanian. Penerbangan lintas alam ini juga menunjukan gairah nyata dari Nurtanio, membangun general aviation di Indonesia untuk menumbuhkan kecintaan terhadap dirgantara di masyarakat, dan dengan segala keterbatasan dan anggaran minim tapi tetap dapat menunjukan prestasi membanggakan.

Walaupun demikian ada sisi kemunduran dari LAPIP pasca gugurnya Nurtanio dan runtuhnya pemerintahan Orde Lama. “Gelatik” memang berhasil diproduksi sampai 44 unit tapi batal untuk “Belibis” karena kurangnya dana. Proyek-proyek rancangan Nurtanio gagal mencapai tahap produksi massal termasuk Belalang dan Kunang.

Kunang-Belalang-Taklukan-Jawa4
Penerbangan lintas Jawa ini terekam pada badan sebelah kiri pesawat Nu-25 Kunang. Tampak ada kesalahan tanggal seharusnya 12 bukan 11.

Lebih ironisnya lagi Belalang yang rencananya akan diproduksi sampai 50 unit, tidak ada satupun yang masih utuh untuk dipamerkan. Satu unit berada di Semarang, menjadi alat praktikum di SMK Penerbangan Kartika Aqasa Bhakti. Belalang satu-satunya ini hanya menyisakan kerangka badan dan mesin, kemungkinan salah satu dari lima pesawat pra produksi yang diserahkan LAPIP ke TNI-AD.

Kunang lebih beruntung, satu unit menjadi koleksi Museum Satria Mandala untuk dipamerkan kepada umum. Saat ini pesawat dalam keadaan kurang baik akibat terkena banjir Jakarta beberapa tahun lalu. Walaupun demikian ibarat prasasti, di badan Kunang tercetak prestasi penerbangan lintas alam ini—walaupun ada kesalahan tanggal, 11 Juni seharusnya 12 Juni—seolah-olah mengatakan kepada generasi muda bahwa “walaupun mungil dan berteknologi sederhana, saya pernah menaklukan Jawa”. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)