Boeing 737 merupakan keluarga pesawat badan sempit (narrow body) yang paling terkenal dan laku keras. Tak terkecuali di Indonesia, digunakan untuk melayani rute-rute domestik, regional, bahkan menjadi pesawat kepresidenan. Mulai dari versi Classic (series -200 dan -300), series -400, -500, minus -600 dan -700, lanjut -800 dan -900, sampai terakhir MAX 8 yang bermasalah, menghiasi langit Indonesia.

“Perkenalan” Indonesia terhadap Boeing 737 dimulai dari Series 100 (737-100) pada akhir 1960-an tapi operatornya bukan dari Indonesia, melainkan MSA (Malaysia-Singapore Airlines). Maskapai dari negeri jiran ini menggunakan produk awal 737 sebagai regenerasi Comet 4, melayani rute Singapura-Jakarta sebelum terbang ke Australia. Pada periode yang sama GIA (Garuda Indonesian Airways) juga mencontoh MSA, mengoperasikan pesawat badan sempit tapi dari tipe Douglas DC-9 (Baca : 25 Tahun Pengabdian Douglas DC-9)

Operator Boeing 737 pertama di Indonesia bukan dari sipil (maskapai) melainkan dari militer yaitu TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara), mengoperasikan tiga unit Boeing 737-200 pada tahun 1982, menjadi kekuatan Skadron 5 Intai Maritim. Sayangnya armada pesawat Camar Emas ini belum menggunakan perangkat intai maritim sehingga tidak maksimal kemampuannya, baru dipasang SLAMMR (Side Loocking Airborne Modular Multi mission Radar) pada tahun 1990-an.

Boeing-737-Dari-Classic-ke-Max-1
Sriwijaya Air sempat menjadi operator Boeing 737-200 terbesar di Indonesia, disewa dari PT. ANI (Aero Nusantara Indonesia).

Boeing-737-Dari-Classic-ke-Max-2Batavia Air mengoperasikan keluarga Boeing 737, seperti PK-YTE yang merupakan series -400, selain juga menggunakan keluarga Airbus A320.

Garuda Indonesia sebagai re-branding dari GIA seharusnya menggunakan produk keluarga McDonnell Douglas MD-80 sebagai regenerasi DC-9, tapi ternyata tidak dilakukan, lebih memilih Boeing 737-300 dan -400, diterima pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, lalu ditambah dari series-500 dan satu unit dari series-200 berkemampuan QC (Quick Change). Yang terakhir ini dipakai Garuda Indonesia untuk layanan kargo udara, namun hanya singkat saja operasinya pada pertengahan 1990-an. Krisis moneter menunjukan ketangguhan Boeing 737, saat armada pesawat badan lebar  Garuda Indonesia banyak yang dijual dan dikembalikan kepada pemiliknya, Boeing 737 terus dioperasikan sebagai mesin uang bagi Garuda.

Maskapai swasta yang mengoperasikan Boeing 737 adalah Sempati Air, dari series -200, bekas pakai ANA (All Nippon Airlines), diikuti oleh Mandala Airlines dan Bouraq Airlines/Bali Air dengan tipe yang sama. Dari maskapai carter tercatat Airfast, menggunakan Boeing 737-200 untuk carter perusahaan tambang dan migas (minyak dan gas). Pasca krisis ekonomi dan munculnya Orde Reformasi membuat izin mendirikan maskapai dipermudah, munculah maskapai-maskapai baru dengan salah satu cirinya mengoperasikan Boeing 737-200 !

Boeing-737-Dari-Classic-ke-Max-3
Boeing 737-900 beregistrasi PK-LFG memiliki cat unik dari Boeing, yang disebut Dreamliner Livery. Kelak dari versi NG ini akan digantikan seluruhnya oleh MAX.

Boeing-737-Dari-Classic-ke-Max-4Sama seperti Lion Air, Garuda Indonesia akan menggunakan MAX sebagai regenerasi dari series -800 seperti PK-GMA ini di masa datang.

Mulai dari Lion Air, Sriwijaya Air, Star Air, Adam Air, Batavia Air, dan masih banyak lagi. Bahkan maskapai veteran seperti MNA (Merpati Nusantara Airlines) ikut mengoperasikan pesawat Boeing dari generasi klasik ini. Walaupun sudah tidak ekonomis lagi setelah pergantian milenium, namun ongkos sewanya yang murah menjadi pertimbangan bisnis. Harapannya menjadi batu loncatan untuk mengoperasikan pesawat yang lebih baru.

Ditambah larangan mengoperasikan “pesawat tua” dari Departemen Perhubungan membuat maskapai segera meregenerasi Boeing 737-200,  seperti Lion Air, mengoperasikan series -300 dan -400 yang dilanjutkan lagi dengan 737-800 dan -900 yang dikenal sebagai NG (Next Generation). Adam Air melakukan hal serupa sebelum jatuh bangkrut. Sriwijaya mengoperasikan dari series -300, -400, dan -500 serta juga -800.

Mandala Airlines lebih memilih memakai A320 untuk regenerasi Boeing 737-200. Air Asia Indonesia juga demikian, mengikuti induknya di Malaysia, mengganti Boeing 737-300 dengan A320 karena dianggap lebih cocok untuk operasional LCC (Low Cost Carrier). Batavia Air selain meregenerasi armada Boeing 737, secara bertahap mengakusisi dari keluarga Airbus A320, dengan harapan seluruhnya menggunakan A320, walaupun hal itu tidak terjadi karena keburu jatuh bangkrut.

Saat ini TNI-AU masih mengoperasikan pesawat intai Boeing 737-200, selain versi yang sama di Skadron 17 Angkut VIP (Very Important Person) dari eks Bayu Air dan series -400 dan -500 eks Garuda Indonesia, serta -400 eks Lion Air. Pesawat tipe Boeing ini dipakai sebagai regenerasi Fokker F28. Selain itu atas nama Setneg (Sekretariat Negara), TNI-AU mengoperasikan BBJ (Boeing Business Jet), pesawat kepresidenan dengan perawatan dilimpahkan kepada GMF (Garuda Maintenance Facility) Aero Asia.

Boeing-737-Dari-Classic-ke-Max-4TNI-AU mengoperasikan pesawat kepresidenan A-001 BBJ (Boeing Business Jet) atas nama Setneg dengan perawatan di GMF Aero Asia.

Boeing-737-Dari-Classic-ke-Max-5Skadron 17 Angkut VIP mengoperasikan Boeing 737-400 beregistrasi A-7306 yang merupakan eks Garuda Indonesia (PK-GWQ)

Sebagai pesawat badan sempit, Boeing 737 bersaing ketat dengan A320, tidak terkecuali di Indonesia. Lion Air yang dianggap maskapai yang setia kepada produk Boeing, telah membagi pesanannya dengan mengoperasikan A320 juga, seluruh armada pesawat badan sempitnya dipakai pula untuk cabang bisnisnya, Batik Air, Malindo, dan Thai Lion Air. Walaupun sempat melirik pesawat Embraer, namun kemudian batal, Sriwijaya menjadi maskapai produk setia Boeing 737. Sedangkan beberapa maskapai carter yang mengoperasikan Boeing 737 pada saat ini adalah Express Air, My Indo Airlines dan Tri MG.

Garuda Indonesia memesan 50 unit Boeing 737 MAX 8 sebagai regenerasi armada NG di masa mendatang dan telah mengoperasikan satu unit sejak Januari 2018. Tahun sebelumnya Lion Air menjadi maskapai pertama di Indonesia mengoperasikan Boeing dengan Scmitiar winglet ini, memesan lebih dari 200 unit, dengan 11 di antaranya sudah dioperasikan. Satu unit jatuh dan diikuti kecelakaan fatal lainnya di Ethiopia membuat Lion Air berpikir ulang untuk mengoperasikan tipe yang sama dengan kemungkinan membatalkan seluruh pesanan. Garuda Indonesia belum memiliki keputusan apa-apa pasca grounded MAX, ada kemungkinan pula mengikuti jejak Lion Air. Akankah nama besar Boeing 737 tersingkir akibat dua kecelakaan tragis produk terbaru MAX yang terjadi kurang dari setengah tahun ini ? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)