Pada tanggal 11 November 1992, atau 30 tahun yang lalu, Garuda Indonesia menyewa secara wet lease Boeing 747-200 Combi.

Combi, kependekan dari Combination, adalah pesawat yang interiornya dibuat untuk mengadopsi setengah bagian untuk angkut penumpang, setengah lainnya untuk kargo atau barang. Pengadaan pesawat milik Air Mauritius beregistrasi 3B-NAS ini merupakan usaha Garuda Indonesia berperan serta aktif dalam program pemerintah untuk meningkatkan ekspor non-migas (non minyak bumi).

Pasar ke Amerika Serikat menjadi target Garuda Indonesia. Dengan layanan dari Jakarta atau Denpasar, pesawat yang memiliki kapasitas angkut kargo sampai 34-40 ton atau 187 meter kubik ini terbang ke Los Angeles lewat Biak dan Honolulu. Dari Jakarta satu kali seminggu setiap hari Rabu sedangkan Denpasar dua kali seminggu setiap hari Jumat dan Minggu dengan penerbangan rata-rata memakan waktu sekitar 22 jam. Pengadaan Jumbo Jet Combi ini sekaligus menggantikan peran Douglas DC-10 yang hanya sanggup mengangkut sampai 11 ton atau 110 meter kubik kargo.

Boeing-747-200-Combi-Upaya-Garuda-Menembus-Bisnis-Kargo-ke-Amerika-Serikat-1Garuda Indonesia menyewa secara wet lease Jumbo Jet Combi beregistrasi 3B-NAS untuk bisnis kargo ke Amerika Serikat. Kargo-kargo ini diangkat dengan bantuan high lift loader.

Boeing-747-200-Combi-Upaya-Garuda-Menembus-Bisnis-Kargo-ke-Amerika-Serikat-2Untuk menempatkan barang di ruang kargo di badan pesawat, masih dibutuhkan tenaga manusia. Ukuran ruang kargo Jumbo Jet Combi ini adalah 187 meter kubik dengan kapasitas sampai 40 ton.

Manajemen Garuda Indonesia memilih rute penerbangan kargo ke Amerika Serikat karena dianggap masih potensial, tidak seperti ke Eropa yang cenderung sudah banyak pemainnya, sekaligus ingin meningkatkan frekuensi penerbangan ke Amerika Serikat. Dari Jakarta, komoditi yang banyak diekspor adalah ikan hias selain garmen/tekstil, sedangkan dari Denpasar, produk-produk seni dan kerajinan khas Bali menjadi yang utama.

Kenyataannya usaha kargo Garuda Indonesia ini mendapat tantangan dari pemain lama dan yang sudah memiliki banyak jaringan dan pelanggan. Harga yang ditawarkan Garuda Indonesia cenderung lebih mahal. Korean Airlines misalnya memasang tarif lebih rendah 10-15% dari Garuda Indonesia, ditambah lagi melayani dengan Jumbo Jet full cargo atau freighter sehingga dapat mengangkut tonase lebih banyak, mencapai lebih dari 100 ton! Masalah logistik juga dialami Garuda Indonesia, karena hanya sampai di Los Angeles, kargo yang ditujukan untuk dikirim ke New York, Chicago, atau Boston mau tidak mau harus dikirim lewat jalur darat. Hal ini yang menjadi penyebab kenapa tarif kargo Garuda Indonesia lebih mahal dan tibanya tidak tepat waktu.

Boeing-747-200-Combi-Upaya-Garuda-Menembus-Bisnis-Kargo-ke-Amerika-Serikat-3Bagan/ilustrasi interior Jumbo Jet Combi. Dengan konfigurasi ini sebanyak enam palet kargo dapat dimuat di bagian belakang pesawat.

Boeing-747-200-Combi-Upaya-Garuda-Menembus-Bisnis-Kargo-ke-Amerika-Serikat-4Hanya dua tahun (1992-1994) dioperasikan Garuda Indonesia, Jumbo Jet ini dikembalikan ke Air Mauritius dengan operator terakhir MK Airlines asal Ghana dan mengalami kecelakaan pada tahun 2004 .

Walaupun data arus kargo dari Indonesia ke atau dari Amerika Serikat menunjukan tren naik, tapi kenyataannya angkanya masih minim, jauh dari harapan. Ditambah lagi Garuda Indonesia kalah bersaing dengan pemain lama dengan tingkat keterisian sering tidak memenuhi target. Alhasil pesawat dikembalikan ke Air Mauritius setelah dua tahun beroperasi. Sebagai catatan, Jumbo Jet ini dengan operator terakhir MK Airlines asal Ghana berakhir nahas, jatuh setelah lepas landas dari Bandara International Halifax, Kanada dengan korban tujuh kru tewas pada tahun 2004.

Kegagalan dalam bisnis kargo udara ke Amerika Serikat tidak lantas membuat Garuda Indonesia jera. Dengan menggunakan pesawat yang lebih kecil, yaitu dari tipe Boeing 737-200C, Garuda Indonesia fokus bisnis kargo untuk pasar domestik khususnya ke Indonesia Bagian Timur (Baca: Pengabdian Singkat Boeing 737-200C Garuda Cargo). Rencana berikutnya mendatangkan pula Jumbo Jet full cargo untuk menghubungan jaringan kargo domestik ke pasar Eropa dan Timur Tengah, namun krisis ekonomi tahun 1997/1998 mengubur rencana tersebut. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)