Batavia sebenarnya tidak cocok dijadikan ibukota Hindia Belanda, wabah penyakit sering merebak. Ditambah lagi dengan sebagian wilayah yang masih berupa rawa-rawa, membuatnya rentan terhadap penyakit khas daerah tropis, malaria.
Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium, disebarkan oleh nyamuk Anopheles. Sangat mematikan, bahkan saat Perang Pasifik penyakit ini menjadi momok utama pasukan Sekutu yang ditugaskan di pulau-pulau seputaran Pasifik untuk menghadapi tentara Jepang. Wilayah tropis hutan rimba dan tanah rawa termasuk area persawahan, menjadi habitat ideal bagi nyamuk Anopheles dan Batavia menjadi salah satu di antaranya. Ditambah lagi dengan masalah kepadatan penduduk, kondisi berperang, sanitasi buruk, dan kurang gizi pasca Perang Dunia II, membuat wabah malaria kembali merebak pada pertengahan tahun 1947.
Pemerintah Hindia Belanda yang kembali mengambil alih kekuasaan atas koloninya mengambil tindakan yang tergolong baru diterapkan, menyemprot dari udara wilayah Batavia dengan DDT (Dichlorodiphenyltrichloroethane). Zat yang tergolong insektisida ini sudah diterapkan secara meluas saat pertengahan dan pasca Perang Dunia II. Dengan bermodalkan satu pesawat angkut Douglas C-47B Dakota milik KLM-IIB (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij-Interinsulair Bedrijf), maka dimulailah penyemprotan DDT dari udara pada tanggal 3 November 1947.
Tabung berisi DDT ditempatkan di rak-rak khusus di dalam ruang kargo pesawat Dakota, terhubung dengan pipa-pipa yang mengarah ke bagian bawah pesawat. Tampak pada foto, operator membuka saluran pipa dengan menggunakan keran.
Dua pipa besar mengarah dan menjulur ke bawah sebagai pipa penyemprot utama DDT. Sistem ini tidak terlalu rumit, cukup digerakan dengan gaya gravitasi.
Dakota beregistrasi PK-REK dimonitor penerbangannya dari Dakota lain, untuk memastikan campuran DDT dan air tersebar dengan bantuan angin dan kecepatan pesawat, jatuh merata di atas Batavia.
Pesawat beregistrasi PK-REK dimodifikasi dengan memasang deretan tabung berisi DDT yang dicampur dengan air sebagai pelarut di dalam ruang kargo. Kedua bahan itu disalurkan lewat dua pipa penyemprot yang tepat terletak di bawah badan pesawat. Terbang dari Bandara Kemayoran, PK-REK dikawal dengan pesawat Dakota lainnya sebagai pengawas, memastikan agar hasil penyemprotan merata di seluruh wilayah Batavia khususnya di area persawahan, rawa-rawa, dan hutan.
Penyemprotan dari udara yang berakhir pada tanggal 14 November 1947 memang praktis dan cepat daripada dilaksanakan lewat jalur darat yang pastinya harus memobilisasi banyak orang. Sayangnya tidak ada informasi lebih lanjut apakah penyemprotan dari udara dengan Dakota berhasil membasmi wabah malaria di Batavia, namun berdasarkan pengalaman di mana-mana, DDT memang efektif dengan keberhasilan sampai 90%. Keberhasilan yang tentunya tidak tanpa resiko. Zat yang tak berwarna, tak berasa, dan tidak berbau ini justru masuk lebih lanjut ke rantai makanan yang ujung-ujungnya meracuni manusia itu sendiri, terlebih lagi nyamuk semakin resisten bila dilakukan penyemprotan secara berlebihan. DDT akhirnya pelan-pelan dilarang digantikan bahan alternatif lain yang walaupun lebih mahal namun tidak berbahaya bagi lingkungan hidup. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)