Untuk tetap mempertahankan kemampuannya sebagai alat pertahanan negara di angkasa, TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) menguji rudal udara ke udara AIM-9P Sidewinder untuk pertama kalinya pada tanggal 2 November 1989.

TNI-AU membeli Sidewinder sebagai satu paket dengan pembelian Northrop F-5E/F Tiger II pada tahun 1980 (Baca: Kedatangan Tiger, Kembalinya Era Supersonik TNI-AU) dari Amerika Serikat. Sidewinder adalah persenjataan integral dari Tiger II selain sepasang meriam otomatik M39A2 kaliber 20 mm, dan dengan berpemandu IR (Infra Red) alias mengejar panas dari gas buang (exhaust) ekor pesawat musuh, rudal atau misil yang sanggup melesat dengan kecepatan supersonik ini tergolong persenjataan jarak pendek dan dapat mengunci sasaran sejauh empat km.

Rudal yang sangat populer dan telah membuktikan kemampuannya di medan perang Vietnam dan Timur Tengah ini terdiri atas beberapa bagian: Pemandu dan Sistem Kontrol atau GCS (Guidance and Control System), sirip depan, hulu ledak, pencari target (target seeker), motor roket, dan sirip belakang. Sidewinder sama seperti persenjataan lainnya yang terpasang di sayap, menggunakan pilon yang terhubung dengan kabel ke kokpit. Pilot tinggal menekan tombol di pangkal tongkat kemudi (joystick) dan rudal meluncur menuju sasaran, tentunya setelah dikunci terlebih dahulu oleh radar pesawat yang kemudian diambil alih sensor IR pada hidung rudal setelah ditembakan.

Uji-Pertama-Kali-Rudal-Sidewinder-1Letnan Kolonel Penerbang (Pnb.) Suprihadi menjadi pilot pesawat tempur TNI-AU pertama yang menguji dan menembakan Sidewinder, berpose di samping Tiger II versi latih dan Sidewinder bertuliskan, “God Bless TNI-AU”. Setidaknya ada tiga pilot TNI-AU lagi yang beruntung menembakan rudal jarak dekat ini.

Uji-Pertama-Kali-Rudal-Sidewinder-2Sebagai pengganti drone sebagai target Sidewinder, digunakan roket HVAR kaliber 5 inchi, tipe TDU-11. Diluncurkan terlebih dahulu pada pesawat yang sama.

Uji-Pertama-Kali-Rudal-Sidewinder-3Detik-detik peluncuran Sidewinder dari Tiger II di atas Pantai Pacitan setelah mengunci roket TDU-11. Misil yang ditembakan oleh Letkol Pnb. Suprihadi berhasil mengenai target dengan sukses!

Dengan menggunakan Tiger II bernomor TS-0509 yang menjadi kekuatan Skadron 14, Letkol/Letnan Kolonel Penerbang (Pnb.) Suprihadi lepas landas dari Pangkalan Angkatan Udara Iswahyudi, Madiun, diikuti pesawat tempur Tiger II lainnya sebagai pendamping dan mendokumentasikan peluncuran Sidewinder. Tipe misil ini tergolong tipe P-2, hanya dapat mengincar dari belakang target (rear aspect), berbeda dengan versi lebih baru, P-4 yang nantinya juga dibeli TNI-AU untuk pesawat tempur General Dynamics/Lockheed F-16A/B Fighting Falcon dan British Aerospace Hawk 100/200, lebih canggih karena dapat ditembakan dari segala arah (all aspect).

Idealnya dalam pengujian ini menggunakan pesawat tanpa awak (drone) sebagai target penembakan, namun saat itu TNI-AU belum memilikinya. Tidak masalah, pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan roket HVAR (High Velocity Aircraft Rocket) kaliber 5 inchi, tipe TDU-11 sebagai penggantinya. Agar aman dan jauh dari pemukiman penduduk, pengujian dilakukan mengarah ke laut, tepatnya di atas Pantai Pacitan, Jawa Timur. Sesuai rencana Suprihadi meluncurkan roket di pilon nomor 1 (ujung sayap paling kiri) lebih dahulu sebagai target, lalu beberapa saat kemudian radar mengunci roket tersebut dan Sidewinder ditembakan dari pilon nomor 7 (ujung sayap paling kanan). Kena, direct hit! Target berhasil dihancurkan.

Sebagai sistem senjata udara ke udara, di mana TNI-AU harus mengimpornya, Sidewinder tergolong mahal. Kisaran harganya mencapai USD 100.000 per unit, sehingga pilot pesawat tempur TNI-AU berlatih hanya dengan menggunakan simulasi semata alias tidak menembakan rudal. Jadi pengujian penembakan dengan amunisi hidup (live amunition) ini memang tergolong langka dan Suprihadi tergolong beruntung bisa melakukannya. Selain untuk menjaga kemampuan dan keterampilan sang pilot, pengujian ini juga dilakukan sebagai pembuktian keandalan Sidewinder termasuk radar, avionik, serta sensor persenjataan pendukungnya yang terpasang pada Tiger II, mengingat sistem yang terlibat seluruhnya harus dicek secara periodik. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)