Ketika pesawat komersial bermesin jet Convair 990A Coronado mendarat di Bandara Kemayoran pada tanggal 20 September 1963 atau 60 tahun yang lalu, industri penerbangan Indonesia resmi memasuki era teknologi jet.

Sebuah pertaruhan bagi GIA (Garuda Indonesian Airways), mengingat pada waktu itu armadanya masih didominasi oleh pesawat penumpang berbaling-baling dari tipe Douglas C-47/DC-3 Dakota dan Convair 240/340/440 (Baca: Kedatangan Convair CV-240 di Kemayoran), tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi agar GIA dapat berkompetisi dengan maskapai lainnya dari luar negeri yang telah memodernisasi armadanya dengan pesawat jet.

Sebelumnya GIA membeli tiga unit Lockheed L.188 Electra (Baca: Electra, Pembuka Teknologi Turboprop di Indonesia), tergolong pesawat jet pula, namun bukan pesawat jet murni melainkan propfan/turboprop. GIA menginginkan pesawat jet berkemampuan terbang jarak jauh untuk menggantikan Electra melayani rute Jakarta-Tokyo dan membuka penerbangan ke Eropa. Saat itu hanya tiga tipe pesawat jet yang dapat melakukannya, dan ketiganya sama-sama berkonfigurasi empat mesin: Convair 990A Coronado, Douglas DC-8, dan Boeing 707. Karena sudah pernah membeli pesawat tipe Convair, sangat logis GIA memilih Coronado.

Kedatangan-Coronado-Dimulainya-Era-Jet-Penerbangan-Komersial-Indonesia-1Kedatangan pesawat penumpang tercepat di dunia era 1960-an di Bandara Kemayoran disambut sangat meriah oleh masyarakat dan media. Pembeliannya praktis membuat Indonesia memasuki era teknologi jet.

Kedatangan-Coronado-Dimulainya-Era-Jet-Penerbangan-Komersial-Indonesia-2Penerbangan dipimpin oleh Dirut GIA, Capt. Partono dan PIC (Pilot In Command) Capt. M. Syafei (kelima dan keempat dari kiri), dengan membawa penumpang perwakilan dari GIA dan Convair/General Dynamics. Mereka disambut dengan kalung bunga.

Kedatangan-Coronado-Dimulainya-Era-Jet-Penerbangan-Komersial-Indonesia-3Di ruang VIP (Very Important Person), Bandara Kemayoran, Menteri Perhubungan Udara Iskandar (paling kanan), menyambut dan memberi pidato saat kedatangan Convair 990A Coronado. Iskandar memegang andil dalam modernisasi armada GIA lewat pembelian Electra dan Coronado.

Karena tergolong loncatan teknologi, pembeliannya direncanakan dengan seksama karena meliputi pula perawatan dan biaya operasional yang tidak murah. Sama seperti Electra, prosesnya juga melibatkan Menteri Perhubungan Udara Iskandar yang juga merupakan mantan dirut (direktur utama) GIA. Selain layanan rute penerbangan jarak jauh, Coronado ditujukan sebagai pesawat kepresidenan, daripada harus menyewa ke maskapai lain seperti yang pernah dilakukan, menyewa pesawat milik PANAM saat kunjungan Presiden Soekarno ke Moskow, Uni Soviet. Soekarno sendiri juga merestui pembeliannya, pesawat penumpang yang tergolong tercepat di dunia pada waktu itu, sanggup terbang sampai Mach 9.1 dan membawa 96-99 penumpang.

Setelah mengirim teknisi dan pilot selama kurang lebih delapan bulan ke Amerika Serikat,  dipimpin langsung oleh Dirut GIA Capt. Partono, pesawat akhirnya mendarat di Jakarta. Kedatangannya disambut meriah oleh masyarakat dan media. GIA membeli tiga pesawat yang dikirim pada periode tahun 1963-1964, masing-masing diberi registrasi dan nama hidung (nosename) kerajaaan besar di nusantara: PK-GJA “Pajajaran”, PK-GJB “Sriwijaya”, dan PK-GJC “Majapahit”.

Sebenarnya GIA merencanakan pembelian enam unit Coronado, tiga unit untuk layanan Asia Pasifik, lainnya untuk layanan Eropa. Namun kenyataannya Convair menutup produksi Coronado karena tidak laku, kapasitas penumpangnya terlalu sedikit dibandingkan pesaingnya, ditambah lagi masalah teknis operasional. Mau tak mau kemudian GIA membeli pesawat dari jenis Douglas DC-8 pada tahun 1966.

Kedatangan-Coronado-Dimulainya-Era-Jet-Penerbangan-Komersial-Indonesia-4PK-GJA “Pajajaran” jatuh di Bombay, India pada tahun 1968. Saat GIA merestrukturisasi armadanya, tersisa dua unit Coronado, “Sriwijaya” dan “Majapahit”, yang dijual ke Amerika Serikat.

Kedatangan-Coronado-Dimulainya-Era-Jet-Penerbangan-Komersial-Indonesia-5Denah kabin penumpang Coronado milik GIA. Pada era itu masih memiliki lounge untuk penumpang First Class. Berkapasitas 96-99 penumpang, pesawat ini tidak ekonomis dan kalah bersaing dengan DC-8 dan 707.

Kedatangan-Coronado-Dimulainya-Era-Jet-Penerbangan-Komersial-Indonesia-6GIA mempromosikan pesawat terbarunya pada timetable edisi Juli-Desember 1963. Sebelum Concorde, Coronado adalah pesawat komersial tercepat di dunia, dengan kecepatan maksimal Mach 9.1 (sekitar 990-1.000 km/jam). 

Selama operasionalnya di GIA, “Pajajaran” jatuh di Bombay, India pada tahun 1968 karena kesalahan pengisian tipe bahan bakar oleh kru darat Bandara Bombay-Santacruz. Saat GIA direstrukturisasi oleh Dirut Wiweko Soepono, Coronado dijual karena dinilai tidak efisien, sulit mendapatkan suku cadang, ditambah lagi harga bahan bakar pada tahun 1970-an naik luar biasa.

Kedua Coronado yang tersisa dibeli oleh California Airmotive Corp. pada tahun 1973 untuk dijual kembali ke NASA (National Air & Space Agency). Nasib malang menimpa “Sriwijaya” saat terbang menuju Amerika Serikat, mengalami kecelakaan saat lepas landas dari Guam dan total loss, sedangkan “Majapahit” tiba dengan selamat. “Majapahit” menjadi pesawat riset dan lab terbang transonik yang diberi nama Galileo II, namun nasibnya sama dengan “Sriwijaya”, “Majapahit”  terbakar dan total loss saat abort take off  dari Bandara March, California pada tahun 1985.  (Aviahistoria, Sejarah Penerbangan Indonesia)