Hari ini tepat 70 tahun yang lalu, kadet-kadet dari Sekbang (Sekolah Penerbang) Maguwo menyerang kedudukan militer Belanda di tiga kota di Jawa sebagai serangan balas Agresi Militer Belanda I dan diperingati sebagai Hari Bakti TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara).

Tanggal 29 Juli 1947, atau lebih dari seminggu militer Belanda melancarkan serangan Aksi Polisional ke wilayah dan markas tentara Republik Indonesia di Sumatra dan Jawa (Baca : 70 Tahun Agresi Militer Belanda I – Operatie Pelikaan). Belanda berada di atas angin karena serangan dadakan ini berhasil dan minim perlawanan.

AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang memiliki puluhan pesawat eks Jepang sudah mengantisipasi hal ini. Aset berharga itu disebar ke beberapa pangkalan udara di Jawa termasuk menempatkan pilot-pilotnya, tapi ternyata Belanda menyerang seluruhnya secara serempak sehingga menyisakan beberapa unit saja yang masih utuh dan dapat diterbangkan di Maguwo, Yogyakarta.

Serangan udara dan darat bernama Operasi Pelikan (Operatie Pelikaan) dengan rencana berkode “Product” ini memang tidak menyerang jantung ibukota Republik Indonesia yaitu Yogyakarta. Terlebih lagi pada hari pertama Aksi Polisional, Maguwo tertutup kabut tebal.

Hari-Bakti-TNI-AU-3
Asisten Operasi AURI, Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma yang memberikan izin serangan udara balasan oleh kadet-kadet Sekbang Maguwo.

Pilot-pilot dari pangkalan yang diserbu itu segera ditarik ke Maguwo dan datang lewat darat. Setelah semuanya tiba, mereka dilarang keluar dari sana. Geram karena pesawat tempur Belanda menguasai udara dan tidak sabar untuk melaksanakan serangan udara balasan.

Ada dua versi serangan udara balasan ini diinstruksikan dan dilakukan oleh siapa. Komodor Muda Udara Adisucipto yang menjabat sebagai Wakil II KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) menyebut jika dilaksanakan serangan udara balasan, akan dipimpin langsung olehnya. Versi lainnya misi itu ditawarkan pelaksanaannya oleh para kadet atas izin Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma yang menjabat sebagai asisten operasi AURI.

Yang pasti apapun versinya, pimpinan AURI tidak sepenuhnya menyetujui serangan udara balasan dilakukan oleh pilot yang masih berstatus siswa. Resiko kegagalannya  tinggi, ditambah lagi agar serangan berhasil harus dilakukan pada waktu malam atau setidaknya pagi buta. Kadet-kadet yang ada selain jam terbangnya tergolong sedikit, belum atau tidak pernah berlatih terbang malam mengandalkan instrumen. Masih minimal pula latihan teknik penyerangan dan pengeboman udara.

Tapi begitulah situasi perang, tawaran yang sebenarnya sukarela itu diambil dengan semangat tinggi tanpa mempedulikan resikonya. Apalagi didorong oleh cerita rekan-rekan seumuran yang tergabung dalam Tentara Pelajar telah berjuang mati-matian melawan Belanda, sementara mereka justru relatif diam berpangku tangan.

Pada malam hari tanggal 28 Juli 1947 dipersiapkan serangan balasan. Hanya empat pesawat yang masih utuh dan laik terbang yaitu dua unit pesawat latih menengah Yokosuka K5Y “Willow” yang lebih dikenal sebagai Cureng, satu unit pesawat pembom Mitsubishi K-51 “Sonia” (Guntei), dan satu unit pesawat tempur Nakajima Ki-43 “Oscar” (Hayabusha).

Hari-Bakti-TNI-AU-4
Kadet-kadet Sekbang Maguwo, pelaku serangan udara balasan di tiga kota, Semarang, Salatiga, dan Ambarawa.

Ditetapkan kadet Mulyono menerbangkan Guntei, dengan penembak belakang (gunner) Dulrakhman, dengan dikawal Hayabusha yang diterbangkan oleh Bambang Saptoadji. Kedua Cureng masing-masing diterbangkan oleh Soetardjo Sigit dan penembak belakang Soetardjo sebagai pemimpin penerbangan (flight leader) didampingi Suharnoko Harbani dengan penembak belakang Kaput.

Guntei dipasang bom 200 kg sedangkan Cureng yang bukan pesawat pembom  dimodifikasi oleh teknisi AURI sehingga dapat membawa dua bom 50 kg di sayapnya. Mekanismenya sederhana sekali, bom ditahan dengan menggunakan kawat yang diulur sampai ke kokpit. Untuk melepasnya pilot tinggal menarik kawat itu. Untuk Cureng yang diterbangkan Soetardjo Sigit tidak dilengkapi senapan mesin karena tidak ada dudukan senjatanya, dan sebagai gantinya Soetardjo memangku satu kotak berisi bom-bom bakar (incendiary) yang dilemparkan ke luar pesawat.